REVOLUSI MEJA MAKAN
Salah satu problem masyarakat kita saat ini yang sudah cukup
mendarah daging adalah budaya konsumtif dan konsumerisme. Dalam kamus besar
bahasa Indonesia disebutkan , konsumtif adalah bersifat konsumsi ( hanya
memakai, tidak menghasilkan sendiri, atau bergantung pada hasil produksi pihak
lain. Sedangkan konsumerisme adalah paham atau gaya hidup yang menganggap
barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan , kesenangan, dan sebagainya ;
gaya hidup yang tidak hemat.
Ini cukup berdampak pada standar kesejahteraan masyarakat,
dan perlahan mengikis habis budaya-budaya lama yang lebih menitikberatkan pada
kesederhanaan dan kewajaran. Budaya konsumtif dan konsumerisme adaah salah satu
effek atau dampak dari globalisasi dan perubahan zaman yang begitu cepat dan
canggih, yang menawarkan beragam cara untuk pemenuhan keinginan manusia modern.
Jika zaman dahulu orang menginginkan sesuatu, mereka harus menabung, lalu
mencari informasi yang tak mudah, sehingga seringkali mengakibatkan seseorang
berpikir kembali, menimbang-nimbang antara kebutuhan dan keinginan, ruang jeda
memang cukup penting,
Tetapi di zaman yang serba mudah, cepat, dan mudah, orang
bisa memiliki sebagian besar apa yang dimiliki masyarakat lainnya, semisal jika
seseorang menginginkan sepeda motor, di zaman sekarang cukup datang ke dealer
dengan uang muka yang cukup terjangkau, bahkan di beberapa dealer ada yang tak
memakai uang muka, cukup dengan ktp dan kartu keluarga. Segala kemudahan
disajikan guna menjaring masyarakat dalam pemenuhan keinginan mereka, dampaknya
tentu kita bisa lihat sendiri, tak jarang sepeda motor yang dijemput kembali
setelah beberapa bulan, tak jarang pula menggunakan tindak kekerasan dalam
penjemputannya, sehingga menimbulkan masalah baru di tatanan masyarakat.
Pada dasarnya ini adalah sikap mental sebagian masyarakt
kita yang belum siap dalam menghadapai perubahan zaman, sehingga seolah
tergerus atau dipaksa berpacu dengan arus zaman yang makin membawa pada
kesenjangan sosial.
MEJA MAKAN
Salah satu hal yang mungkin bisa cukup mengurai permasalahan
tersebut adalah dengan revolusi meja makan, ya kita tahu bahwa sikap dan sifat
manusia dipengaruhi oleh apa yang dimasukan ke dalam mulutnya, alias
dipengaruhi oleh makanan, dalam hal ini kita belum berbicara soal sumber
makanan.
Jika zaman dahulu kala, kita sudah terbiasa sarapan dengan
umbi-umbian dan sedikit nasi setiap harinya, dan tak mengenal dengan makanan
instant atau junkfood, tentunya berdampak pula terhadap sikap dan perilaku
manusianya, selain dari itu juga kesederhanaan dalam hal makan yang seringkali
diajarkan oleh orang tua- orang tua pada masa itu. Sifat dan sikap menghormati
pada makanan, dan tak menyia-nyiakannya, itu tercermin dalam setiap proses
pengolahan bahkan sampai proses makan. Budaya itu lambat laun kini lenyap
menghilang dan di generasi muda yang sekarang bahkan cukup banyak yang tak
mengenal leuit, goah, dulang,
ngakeul,sangu poe, padairngan, dan lain sebagainya.
Ini cukup memprihatinkan , ketika identitas dari bangsa
sendiri dalam hal mengolah/menghormati makanan sudah lenyap atau terkikis.
Orang zaman dulu begitu rengkuh
ketika memasuki goah untuk mengambil beras, kemudian berterima kasih pada Sang
Maha Pemberi, ini tentunya bukan hanya persoalan agama, tetapi adab atau tata
karma pada kehidupan, pada segenap yang mendukung kehidupan, artinya sejak awal
kesadaran manusia zaman dulu sudah aktif dan terjaga.
seyogyanya memang manusia berkembang bersamaan dengan
berkembangnya zaman, namun seringkali manusia lalai pada apa yang mesti dijaga
dan dirawat, bukan hanya sebagai kekayaan budaya, tapi sebagai penyeimbang,
bahwa dalam hidup ada masa lalu, masa kini, dan masa nanti, dan itu dibuktikan
dengan budaya-budaya yang dijaga, atau beradaptasi dengan budaya baru. Namun
yang terpenting adalah manusia tak lupa pada purwadaksina.
Kembali lagi pada budaya konsumtif dan konsumerisme di zaman
sekarang,yang tentunya berdampak pada lingkungan dan pola hidup masyarakat, hal
ini mungkin bisa dikendalikan dengan memeriksa kembali apa yang tersaji di meja
makan, atau apa yang kita makan. Jika mungkin ada yang bisa ditukar dengan
sesuatu yang organic dan mudah didapat, sudah sewajarnya kita kembali pada
pola-pola masa lalu yang baik, tentunya sebagai penyeimbang kesejahteraan dalam
berkehidupan. Yang tadinya kita biasa lebih sering membeli, mari coba menanam.
Yang tadinya biasa instan, mari kembali menikmati proses. Tak ada jalan pintas
untuk bahagia, kalau pun ada, tentu ada nilai tukar di baliknya.
Cikajang, 27 Oktober 2020 19:05
Noer Listanto Alfarizi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar