KUNJUNGAN JURNALIS (Australian Finance Review) ke Dapur Incu Kopisangray
ya, segalanya terjadi begitu mendadak, cepat dan cukup mengejutkan.
Mba Natalia Santi menghubungi saya via inboks Facebook hari Selasa dan mengatakan ingin berkunjung sekaligus mencari-cari informasi soal perkembangan kopi di Indonesia. Saya sempat menjawab bahwa untuk hari Kamis, saya sudah ada agenda, dan Mba Natalia sempat bilang mungkin lain kesempatan.
Tiba-tiba hari Rabu, mba Natalia menelpon menanyakan kesanggupan saya akan kunjungan mba Natalia dengan atasannya yang tak lain adalah Mrs. Emma, Jurnalis dr Australian Finance Review. Saya tak bisa menolak kesempatan yang sungguh sempat membuat saya degdegan ini.
Saya mengiyakan, lalu menanyakan schedule dan apa saja yang dibutuhkan.
Mba Natalia dan Mrs. Emma berencana mencari info dan data soal perkembangan perkopian di Indonesia, khususnya daerah Garut, untuk merespon dr perjanjian yang baru ditandatangani pihak Indonesia dan Australia, soal ekspor-impor. Dan salah satunya adalah Kopi.
Hari Kamis sore kami bertemu di Kedai Kopi Koboi yang kebetulan dekat dengan Hotel di mana Mrs. Emma menginap, kami ngobrol-ngobrol soal teknis perjalanan juga data apa saja yang dibutuhkan. Dalam dialog tersebut saya menawarkan dua konteks, soal Kopi Kultural dan Kopi Industri.
akhirnya kami sepakat itu menjadi salah satu tema dalam perjalanan kami.
Kamis Malam, saya mengontak kawan saya, Kang Yufik, untuk menemani perjalanan sekaligus menyewa mobil Trooper beliau yang sempat pula diajak ke pelosok Garut.
Berangkat
Bandung pagi hari, berbekal rasa penasaran pun takjub akan kehangatan matahari pagi, Saya, Kang Yufik, Mrs. Emma yang membawa anaknya yang tengah liburan di Jakarta, juga Mba Natalua, kami berangkat dengan sarapan kopimorning dalam mobil, sempat terjebak kemacetan walau pada akhirnya tiba sesuai jadwal.
sepanjang perjalanan, sambung menyambung tanya jawab mengalir spontan saja, walau memang dengan rajin Mba Natalia menyalin jawaban pada laptop yang sejak berangkat sudah stand by.
Tiba
kami tiba di Cikajang, Garut pukul 10:00 WIB setelah menempuh tiga jam perjalanan dan langsung disuguhi penganan khas pedesaan, kukus ubi alias seupan hui, goreng singkong alias sampeu goreng, sepoci teh hangat, dan tak lupa pula, bercangkir-cangkir kopi,
ya, kami ngopingopi sambil berdiskusi ringan soal kopi dan kehidupan sehari-hari, sebelum bergegas menuju kebon kopi terdekat untuk memastikan keadaannya dan menjumpai bungabunga kopi yang mulai bermekaran serta biji-biji kopi yang sebagian masih tersisa yang ranum merah matang.
tiba di kebun, Mrs. Emma langsung mengajukan beberapa pertanyaan yang diterjemahkan langsung oleh Mba Natalia Santi, beberapa pertanyaan mengenai luas kebon, kuantitas hasil panen permusim, sampai dijual ke mana / ke siapa panenan kopi di kampung.
selain itu, Mrs. Emma juga menanyakan perbedaan cara berkebun kopi, sebab ketika mengunjungi kebon kopi milik Ma Okon, terkesan seperti miniatur hutan, ya, memang dalam cara berkebun kopi, Ma Okon menerapkan multikultur, jadi tak hanya kopi yang ditanam, ada alpukat, pisang, terong, nangka, dan lain sebagainya, selain berfungsi sebagai peneduh juga hasilnya bisa dipetik untuk kebutuhan sehari-hari.
Mrs. Emma membandingkan dengan perkebunan-perkebunan kopi di luar negri, pun di beberapa tempat di Indonesia yang hanya menanam kopi, sehingga benar-benar hanya kopi dalam satu kebun itu.
Kopi Kultural & Kopi Industri
dalam pemahaman awam saya, saya beranggapan bahwa kopi kultural adalah kopi yang diproduksi oleh petani kopi itu sendiri, yang awalnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun sebab ada kelebihan dari hasil panen, akhirnya dijual dalam bentuk sudah disangray/roastbean atau bubuk, yang makin ke sini dipadupadankan dengan kemasan menarik dan elegan. Namun tentu saja kapasitas produksinya terbatas, sebab melihat kuota panen juga proses pengolahannya yang hanya melibatkan keluarga petani saja.
untuk mencari data soal Kopi Kultural, Mrs. Emma menggunakan sampel Kopisangray, sempat pula Mrs.Emma melihatlihat ruang produksi Kopi Sangray yang bernama Dapur Incu, percakapan-percakapan sambung menyambung dari tentang bagaimana awal mula Kopi Sangray lahir sampai ke mana saja distribusinya juga berapa persentase omset pertahun yang dihasilkan oleh Kopi Sangray, wawancara ringan dan enjoy sambil menyicip bercangkir-cangkir Kopi Sangray hitam pekat.
Sebelum pulang, Mrs. Emma memesan beberapa bungkus Kopi Sangray untuk dibawa pulang sebagai oleholeh, mengingat Herriot, anak gadisnya begitu menyukai kopi tubruk dari kopi sangray itu. Bahkan Herriot meminumnya lebih cepat dari umumnya orang minum kopi, "saya suka, rasanya kuat kopinya pekat", ucapnya dalam bahasa Inggris
selain Kopi Sangray, saya sertakan pula Kopi kemasan lain hasil dari para petani lainnya juga, salah satunya Kopi dari Buruan Manglayang yang dikomandoi oleh Kang Yufik.
sebelum pamitan, seperti biasa kami foto bersama, dalam kesempatan ini bahkan saya sampai lupa untuk foto-foto saking takjub dan merasa tak percaya dikunjungi Mrs. Emma beserta tim untuk menyengaja datang berkunjung ke ruang produksi Kopi Sangray
PULANG
sebelum mengantar Mrs. Emma pulang ke Jakarta, kami mampir ke Pabrik Kopi Sunda Hejo yang berada di Kamojang, untuk bertanya-tanya soal Kopi Industri, yang dalam proses produksinya melibatkan beberapa mesin dan kapasitas produksinya yang lebih banyak dan memang ditujukan untuk komersil, baik ekspor atau pasar lokal.
sejauh informasi yang didapat, Sunda Hejo sedang dalam masa belum produksi besar-besaran, didapat informasi kapasitas produksi bisa mencapai 150ton dan sebagian sudah diekspor.
kami juga menyempatkan untuk menyeruput beberapa seloki kopi yang disajikan barista di kedai sunda hejo.
Tak banyak memang informasi yang didapat, sebab kunjungan sedang dalam masa belum panen raya, ditambah pemilik Sunda Hejo pada waktu itu sedang tidak berada di lokasi.
Kami pulang sekira pukul 15:00 WIB, ketika sore mulai hangat dan situasi perjalanan yang menyenangkan, selama perjalanan saya masih diwawancarai, dan bagi saya, itu saat yang sungguh dramatis, di mana entah mengapa waktu itu saya begitu lancar menyampaikan bagaimana awal mula saya terjun di dunia perkopian, dan ternyata hasil obrolan ringan itu yang akhirnya menjadi penutup dari artikel yang ditulis oleh Mrs. Emma di laman Australian Finance Review.
" Iqbal used to supply coffee shops in Jakarta, 240km away, with the family crop but now he sticks to Bandung, which is just 93km down the road, where there are more than enough hip cafes keen for his organic crop.
“I felt the coffee calling me,” he says, remembering that morning. It seems it calls him still. "
https://www.afr.com/world/asia/indonesia-s-growing-coffee-habit-a-sign-of-economic-progress-20191124-p53dkm
Terima kasih telah berkunjung dan berbagi kegembiraan.
semoga di lain kesempatan bisa berkunjung kembali dengan penuh kebahagiaan.
November, 2019
#menuliskanperjalanan #kopisangray #kopigarut #jurnalis #kopiindonesia #kopi #dapurincu @dapoer.incu @kopisangray @noer_alfarizi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar