KOPIMORNING DI WARUNG DARDJA
( oleh Noer Listanto Alfarizi )
( kopimorning 2020 )
KOPIMORNING
Dari sinilah awal mula perjalanan, Warung Dardja, atau ada juga yang bilang rumsi KPRI, atau kantor Pergerakan, atau terakhir kali diingat sebagai BKCK alias Bojong Kacor Cukang Kawung sebab lokasinya ada di antara bojong kacor dan cukang kawung. Ruang temu dan berkumpul, ruang berbagi dan silaturahmi, ruang yang penuh kehangatan, sumber inspirasi, dan kebahagiaan.
Setiap pagi, ketika
sinar matahari hangat melamuri dinding kusam di teras belakang, dan angin sejuk
di pagi hari menerpa-nerpa daundaun pohon mangga yang teduh sekali, Bi Isah
itulah nama yang teringat, barista sekaligus kapolda di warung dardja, yang
senantiasa ramah menyambut segala yang datang, menawari secangkir kebahagiaan
dengan kegembiraan terpancar dari senyum yang sehangat mentari pagi. Setiap
pagi Bi Isah menyiapkan sarapan dan beberapa cangkir kopi bagi mereka yang
sudah bangun dan duduk melamun sambil mengumpulkan nyawa dan mengingat-ingat
mimpi.
setelah kopi tersaji dan
kehangatan mulai terhimpun bersama terang pagi, samua mulai berkumpul di atas
kursi duduk melingkari meja yang disebut meja kebebasan atau meja freedom,
menyeruput kopi dan menikmati kudapan-kudapan yang tersaji, biasanya Kang Mukti (atau biasa dipanggil Emang/Mang
Mukti) memulai percakapan tentang cinta dan rasa syukur yang mesti senantiasa
tumbuh dalam jiwa dan pikiran. Tak jarang pula berkelakar soal negara,
kehidupan, atau romansa asmara kaum muda, pun kaum yang tak lagi muda. Suasana
hangat tercipta, asap-asap mengepul dari berbagai jenis tembakau yang dibakar,
asbak-asbak penuh puntung rokok menjadi saksi obrolan-obrolan seru yang taka da
habisnya, tak bertepi, senantiasa melahirkan gagasan baru, kebahagiaan dalam
pemikiran.
sesekali kami menikmati
sajian musik jiwa, dari alunan lembut gitar nylon yang menarik kami pada
bait-bait cinta dan memori masa lalu yang begitu mesra dan penuh gelora. Tak
jarang pula lagu-lagu nostalgia mengalun, melingkungi meja panjang tanpa sudut,
duduk melingkar gagasan berputar, tawa dan kelakar berganti debar. Ah,
kebahagiaan terpancar, menyebar, mengakar, di sebuah pagi, di antara bising
kendaraan dan rutinitas kaum urban. Kami bernyanyi sambil sesekali mereguk
secangkir kopi, menikmati luang waktu, jeda dari laju kehidupan.
"... di beranda
itu, kawankawan..
harihari rebah, matahari
pagi petang
menuangkan
cahayanya..."
( surat kepada d )
banyak pula
catatan-catatan perjalanan lahir, puisi-puisi mengalir, lagu-lagu tercipta, ingatan-ingatan
terpatri, dan orangorang datang dan pergi membawakan kisah suka duka, sedih
bahagia, segala sesuatunya begitu berirama.
awal mula saya mengenalnya dengan nama kantor pergerakan. Ya, di sana saya bertemu Kang Mukti, Kyai Matdon, Kang Sapei Rusin, Ibu Ajeng Kesuma, Wa Dadang, Kang Edos, Kang Trisno, Kang Wisnu, Om Wahab, yang menjadi guru sekaligus sahabat, juga bertemu kawankawan lainnya yang sampai sekarang masih senantiasa bertukar ide berbagi cerita, berkisah tentang perjalanan.
"... aku hanya ingin mencintaimu
seperti kisah syair
kecil, mendekap nyanyian jiwa..
.. aku hanya ingin
merindukanmu
seperti saat menangis,
meraba malam
pencarian atas segala
jumpa "
(aku hanya ingin - mukti-mukti&ajengkesumaningrum)
RUANG SENI DAN
SILATURAHMI
saya mulai aktif dan sering berkunjung ke Warung Dardja dari akhir tahun 2011, bermula dari menghadiri suatu acara di sana, dan dalam satu kesempatan kang Mukti memberikan sambutan, “ ini adalah ruang bersama, silakan teman-teman yang mau datang, atau kemalaman, bisa berkunjung ke sini, atau kalau misal mau bikin kegiatan kesenian boleh juga di sini…”
kurang lebih seperti itu yang diucapkan kang mukti, sejak saat itu sesekali saya sering menyengaja berkunjung, sebagai orang kampung yang haus ilmu dan pengalaman, dengan niat dan keinginan ingin belajar, makin ke sini makin sering berkunjung dan bergabung dalam berbagai kegiatan yang sering berlangsung di sana, waktu itu masih bernama Warung Dardja .cukup beragam kegiatan yang diadakan di sana , dari mulai Pengajian Sastra Majelis Sastra Bandung, Stand Up Komedi, Konser Musik Balada, Pameran Lukisan, dan banyak lagi kegiatan lainnya seperti workshop dan pertemuan di luar lingkup kesenian, sebab di sana juga ruang temu dan berkumpul kawan-kawan LBH dan Walhi, juga perkumpulan lainnya.
( pada saat peluncuran buku puisi : Puisi Tiga Bagian, karya Ibu Ajeng )
dan tak jarang pula setiap 17 Agustus, diadakan Upacara bendera dilanjut dengan makan bersama dan menikmati seduhan air sereh dan jeruk nipis dr Bu Ajeng, atau Cilok pangeunahna saBandung dr Kang Matdon dan kudapan lainnya. Mengkhidmati kemerdekaan dengan sajian musik cinta dari musisi balada dan puisi-puisi yang dibacakan oleh para penyair, serta kisah-kisah yang mengalir dari pengalaman setiap mereka yang hadir
merasa memiliki keluarga baru, sekolah baru, ruang hangat dan tumbuh bersama. Saya juga menyaksikan cukup banyak kawankawan muda yang bergiat di sana, baik sebagai aktivis mahasiswa atau pun berkegiatan seni dengan gembira.
(pembacaan puisi oleh Teh Ratna M. Rochiman)
KOPI
sekira tahun 2014 entah 2015, masih hangat dalam ingatan, Kang Mukti bilang, "nggeus maneh th kaluar gawe, balik ka lembur, urus lembur, urus naon we nu aya di lembur". Beberapa kali beliau berpesan, baik ketika Kopimorning di sela-sela membicarakan kedaulatan rakyat, pun ketika ngopi dini hari begadang samapi pagi.
Nasihat yang seringkali
terngiang dan terpikirkan di saat menyepi dan menepi, bahkan dihayati baikbaik
ketika bekerja, waktu itu saya bekerja sebagai buruh pabrik di pabrik karet
daerah Arjuna, dekat pasar Ciroyom.
pernah suatu ketika,
ketika lembur kerja sampai larut malam, saya memikirkan nasihat tersebut sambil
duduk di teras mushola, sambil memakai sepatu lalu berjalan menuju tempat
kerja, nasihat itu terus saya pelajari dan mencoba untuk mewujudkannya. Seorang
muda yang polos dan masih limbung perihal bagaimana menyongsong hari di depan.
( kopimorning, Juli
2020)
makin ke sini saya makin
sering berkunjung ke Warung Dardja, ngobrol soal pembebasan tanah, kedaulatan
pangan, kemerdekaan, perjuangan, pergerakan, lalu sampai pada pembicaraan
pengolahan kopi.
Ibu Ajeng, yang
seringkali membawa kopi hasil olahan petani-petani kopi, dan seringkali kami
membicarakan perjuangan para petani kopi itu di sesi Kopimorning. “lainna
di lembur emak punya kebon kopi? Atuh dicoba diolah kopinya, lebar pan lamun ka
bandarkeun mah, diminta ajarin sama si emak kumaha cara bikin kopi, nanti
hasilnya di sini kita nikmati barengbareng sambil diuji kualitas rasanya,”
kirakira begitulah ucap Bu Ajeng di suatu pagi sambil membereskan
kudapan-kudapan di atas meja, saya hanya menjawab seperti biasa, “iya, ya bu,
nanti saya coba kalau pulang kampung.”
Lambat laun Ibu Ajeng selain menyarankan juga mengajak belajar bareng bersama yang lain tentang perkopian, dimulai dari cupping, cara menyangray secara manual, dan kwalitas dari kopi-kopi itu sendiri. pun Kang Wisnu alias kang timbul, yang juga mengenalkan teknik-teknik menyangray manual, mengajari soal cara pengolahan pascapanen, kwalitas greenbean, sampai primbon soal jodoh, haha..
(Foto
: Kang Yufik)
Akhirya setiap kali
pulang ke kampung cukup lama, saya terdorong mencoba mengolah kopi sendiri
dengan manual dan tradisional, dan berguru ke emak (nenek) sebab memang sejak
dulu emak telah melakoninya : menikmati seduhan kopi yang diproses manual dan
tradisional, emak sungguh antusias, dibimbingnya saya dengan perlahan, sambil
diceritakan kisahkisah masa lalu, bagaimana pohon kopi ditanam, lalu diolah
untuk konsumsi rumah sendiri sama Abah (ayahnya emak) untuk teman ngadu bako,
pada waktu itu Abah adalah petani tembakau. Kopi makin mendekatkan diri
terhadap sesuatu sungguh dekat namun luput dari perhatian.
cukup lama saya belajar
dan tumbuh bersama, Warung Dardja seolah menjadi kawah candradimuka, dari
belajar soal kopi, kemerdekaan berpikir dan berkehidupan bahkan dalam laku
spiritual.
Khususnya kopi, ya, Kopimorning seolah menjadi ritual sederhana namun sakral, membuka cakrawala pemikiran dalam setiap obrolan dan candaannya, baik langsung maupun tak langsung Warung Dardja atau terakhir kali bersalin nama menjadi BKCK yang mendekatkan saya pada biji-biji kopi, yang pula mengakrabkan pada proses pendekatan hingga jatuh cinta pada biji-bji kopi, sekaligus membuat saya turut serta merawat ingatan emak dan menuai cerita-cerita masa lalu yang penuh petuah dan kesederhanaan.
(Kang
Wisnu sedang menerangkan soal kopi dan kapitalisme global)
Foto
ini diambil sekira tahun 2015/2016 di suatu malam yang dingin di warung dardja
atau KPRI
“ayo
Nur , kita bedah kenapa harga kopi saset bisa sampai 1500-2000/saset, kita
bedah kira-kira bahan baku kopinya di kisaran harga berapa, ya ini kira-kira
saja”, ucap kang Timbul atau dulu bernama Juragan Wisnu sang Empu dari tanah
Wonogiri.
Kang Wisnu sebagai salah satu guru saya di bidang perkopian, yang senantiasa sabar dan tabah membimbing saya mempelajari seluk-beluk perkopian dan sesekali kadang mendengarkan curhatan picisan saya. Dari mulai pengenalan proses pasca panen yang baik dan kurang baik, kualitas gabah dan greenbean, sampai ke mempelajari profile roasting dan cupping beserta praktiknya. Kebetulan pada saat itu di warung dardja ada produksi kopi dengan merk coffee congress. Dengan pasokan kopi dari berbagai wilayah, dan tentunya langsung dari para petani kopinya, belajar sambil praktek tentu hal yang asik dan menakjubkan. Setiap hari selain mencicip lebih dari tiga gelas kopi, juga menyerap berbagai macam pengetahuan dari mulai pembibitan kopi sampai cara penyajian, setiap harinya penuh dengan eksperimen dan temuan baru.
Kembali lagi ke malam itu, saya yang pada waktu itu minim sekali pengetahuan soal kopi dan bagaimana pasar kopi berkembang tentu sangat antusias dan “ngaregepkeun” dengan khusyuk. Banyak hal dikupas oleh kang Wisnu yang ternyata seorang Antropolog juga.
“tah Nur, segini hasilnya tadi pas kita hitung bareng itu, dari mulai biaya produksi, promosi, dan lainlain, kebayangkan kopi seperti apa yang digunakan?, ya, mungkin kopi yang bagusnys mereka ekspor, sisanya ya, seperti yang sering kita saksikan sendiri. Bahkan para petani kopinya di kampung, minum kopinya ya kopi dari warung, nah itu jadi tugas Nur buat edukasi kawan-kawan di kampungmu,” ucap Kang Wisnu kemudian menyeruput kopi yang sudah dingin dan tinggal beberapa teguk lagi
Saya
hanya mengangguk-ngangguk iya-iya saja, sambil terbayang wajah-wajah petani
kopi di kampung yang memang pada waktu
itu ngopinya kopi dari warung, padahal memiliki kebun kopi sendiri.
KOPISANGRAY
Tahun 2016 lahirlah
Kopisangray, setelah beberapa kali uji rasa oleh kawankawan penikmat kopi,
setelah berulang kali pula diskusi bersama Bu Ajeng, Kang Wisnu, Kang Mukti,
Kyai Matdon, dan kawan kawan yang ada di Warung Dardja lainnya, baik kwalitas
greenbean, hasil sangray, beberapa kali pula saya belajar menyangray kopi
secara manual dengan bimbingan dari Bu Ajeng dan Kang Wisnu, dan Kang Mukti
sebagai penasehat. Pada waktu itu, di Warung Dardja juga terlahir Kopi Congress,
cukup sering kegiatan soal kopi berlangsung di sana.
KOPI MALAM
Ya selain ngopi-ngopi
yang saya ingat dari warung dardja adalah ruang temu, ruang silaturahmi yang
hangat dan menggembirakan, begadang sudah tentu menjadi kebiasaan umum para
penghuninya, begitu pula ketika ada yang berkunjung, tak luput dari diskusi
sampai curhat-curhatan. Saya teringat suatu malam ketika kami berkumpul, pada
waktu sungguh asik membicarakan tentang mantan, dan setiap orang sedikitnya
bercerita soal mantan, termasuk saya yang akhirnya tak sadar malah bercerita
banyak haha,
Setelah membahas banyak
sekali cerita saya tergerak untuk menuliskan letupan-letupan kalimat dalam
suasana canda tawa dalam bentuk yang mungkin disebut puisi tapi entahlah :
OBROLAN TENTANG MANTAN
"jangan biarkan
hati seperti freezer
yang kosong"
tak ada reda
hujan deras sehabis isya
setelah beberapa resah
dimainkan bola pingpong
dan bercangkir-cangkir kopi
mengisi ruang kosong
cerita-cerita seperti kudapan
dimakan bersama
perlahan-lahan
perasan perasaan
bercampur dengan kopi
pedas indomie, juga manis
buah mangga yang dipetik kunti
dan cemilan lain
berupa obrolan tentang mantan
tentang seseorang dari selatan
tentang rumah yang dikunjungi
dengan MGI dan Doa Ibu
tanah dan pernikahan sederhana
"galau adalah iman
bagi seorang don juan",
seorang Kyai berfatwa
disambut gelak tawa.
freedom dan warna-warni
pribadional dan hariweusweus
menjadi kamus kata di warung dardja
cerita tentang jogja
cianjur penuh siloka
tasik lebih menggoda
hujan reda
begitu pun cerita
namun sebagian berbekas
menjadi genangan
menjadi kenangan
menjadi sesuatu
yang dinamakan
kebahagiaan
Waas, 131218
Selama sering berkunjung
dan berkumpul di BKCK merasakan banyak kehilangan dan kesedihan ketika ruang
itu hendak berpindah tempat, ya di sana orangorang datang dan pergi, awal mula
banyak kawan-kawan berkumpul maen kartu, remi atau sevenskop, nonton bola,
sampai duduk sibuk dengan dunia maya, lambat laun berpisah, saling menitipkan
pesan dan salam kangen, sibuk akan rutinitas dan kegiatan lainnya, dan
terhalang jarak, ruang, dan waktu. Begitulah kehidupan.
namun yang teringat begitu kuat, kebahagiaan dan kegembiraan.
( acara perpisahan dengan BKCK, September 2020 )
2020
"aku tau aku yang
mesti pergi..
... "
(system)
(
Om Wahab tengah bercengkrama dengan benih-benih pohon,
Alfatihah
untuk beliau )
Ya, 2020 adalah tahun
perpisahan dengan BKCK, di tahun ini pula Om Wahab berpulang setelah sebulan
pindah dari BKCK, sebulan sebelumnya kang Donydombis yang lebih dulu pulang.
SUATU MALAM
“Noer bawa kopi nggak?
Mau dong..” sambut Om Wahab ketika saya baru saja tiba di kantor pergerakan.
“Bawa, Om.. mau sekalian dibikinin?, tanya saya
“biar saya saja deh yang bikin,” jawab Om Wahab
Akhirnya kami bikin kopi sendiri-sendiri, kebetulan ketika ke sana, tak melihat siapa-siapa selain Om Wahab di ruang tengah pun di teras belakang.
“Emang (Mang Mukti) ada, lagi istirahat, yang lainnya entah pada ke mana, saya sendirian dari tadi,” jawab Om Wahab ketika saya tanya pada ke mana para penghuni
Kemudian kami berpindah
dari dapur ke ruang tengah, menikmati secangkir kopi, berbatang-batang kretek
mengepul, dan menyaksikan perubahan suasana dari terang menuju gelap. Kamis,
malam jum’at.
Suasana tetap sepi, di
sela-sela obrolan ringan kami yang sesekali pada sibuk melihat gadget
masing-masing, kemudian bertanya kesibukan sehari-sehari.
“kamu menginap saja Noer, di atas kamar pada kosong, Capung kayaknya nggak ke sini, dia menginap di Walhi,” celetuk Om Wahab ketika malam sudah mulai larut
“lihat sikon, Kang,
emang kawan-kawan yang lain pada ke mana?”
“nggak tau, dari tadi saya sendirian, nginap saja di sini, jarang-jarang kan kamu nginap di sini, temenin saya begadanglah”, sambung Om Wahab
( lukisan karya Wahab Ar Ruben)
Saya mengiyakan, tak biasanya Om Wahab ngajak begadang, dan memang pada waktu itu suasana sepi sungguh di kantor pergerakan, kang Mukti yang biasa hadir berkumpul, waktu itu sedang istirahat di kamar.
Akhirnya kami berdua begadang di halaman yang sempat dijadikan tempat menjemur kopi dan bermain pingpong, diskusi ringan soal pergerakan, soal cerita-cerita masa lalu, dan beberapa rahasia yang tak sengaja turut serta dalam beberapa peristiwa.
"akhir-akhir ini saya gelisah, Noer, nggak tau kenapa, makanya susah tidur, paling bisa tidur siang hari, tiap hari juga nongkrong di sini begadang, sampai matahari muncul baru turun ke bawah buat gegoleran, tapi tetap susah tidur,” ucap Om Wahab ketika usai membicarakan beberapa peristiwa
“banyak minum air putih hangat, kang, kopinya dikurangin dulu. Eh, kang, di bawah jarang ada halhal aneh? Kelihatannya serem dan geueuman,” tanya saya berupaya meredakan kegelisahannya
“kalau di kamar saya baikbaik saja, tapi kalau di kamar sebelahnya, itu sebelah kamar saya, nggak ada yang kuat tidur di sana, coba saja kamu semalam tidur di sana, saya pernah nyoba tapi tetap nggak kuat, hawanya nggak enak, hehe..” jawab Om wahab yang kemudian disusul tawa ciri khasnya, kemudian tersedak dan batukbatuk
“minum dulu kang, ada yang merasa diomongin tuh, jadi kabesekan..hehe,” sambung saya
“ah mereka sudah pada kenal ke saya, kemarin itu bukubuku di rak ruang tengah pada dikeluarin semua tuh, saya lagi begadang di sini, tibatiba buku berjatuhan, padahal kan itu dikunci loh, saya mah udah nggak aneh, Noer..” sambung Om Wahab
“tapi iya juga, tapi kang kalau dirasa-rasa mh, ngeri juga ya ini ruangan, apalagi malem begini, kebayang kalau sendirian. saya beberapa kali menginap di atas di kamar depan, pertama kali memang gerah benar, dan beberapa kali seperti ada yang ngetuk-ngetuk kaca, tapi ya namanya juga hidup, kan mereka juga sama perlu aktivitas, mungkin salah satunya nakutin .. haha “
Kami tertawa bersama, ya malam itu sungguh berbeda, Om wahab yang biasanya pendiam jarang bicara, malam itu malah yang banyak cerita, bahkan halhal yang menyangkut keluarga dan yang menurut pendapat kebanyakan orang adalah sebuah rahasia
“akhir-akhir ini mimpi saya aneh-aneh, Noer, dan kepikiran balik, saya kan udah lama di sini, tapi biasanya biasa-biasa saja, tapi ini mah agak beda, teu ngarti saya oge..” celetuk Om wahab
“mungkin effek bertapa kayaknya kang, hehe.. jadi bisa merasakan kesedihan makhluk-makhluk astral ..” jawab saya sambil berkelakar
“ah kamu mah, mistis. Tapi ada kejadian yang sampai saat ini saya nggak ngerti, .. ( kemudian Om wahab bercerita tentang kejadiannya tentang pesan darah), Emang (mang Mukti) juga nggak tau soal ini, tapi nggak apa-apa, ini buktinya saya masih hidup.” sambung Om wahab
“iya ya kang, semoga bukan apa-apa, tapi ya mungkin kalau ada waktu dan kesempatan mh, coba pulang kampung. Bukan nyaranin juga, tapi dilihatlihat beberapa kawan saya yang sudah lama tak pulang kampung, di tahun ini pada balik kampung, tapi sebelumnya mengalami kejadian yang aneh-aneh, kadang saya juga nggak ngerti, ini kenapa Om wahab malah cerita ke saya. Hehe ..” ucap saya sambil kembali menikmati aroma samsu di tengah dingin malam
“ya nggak apa-apa, ini kan cerita saja, saya juga nggak tau kenapa jadi cerita ke kamu. Kamu nanti kalau ngantuk bilang saja, di atas kamar juga pada kosong. Emang (mang mukti) kayaknya kecapean, belum keluar-keluar dari tadi.” Ucap Om wahab
Malam makin dingin, dan cerita-cerita mistis yang mengalir semakin menambah suasana sepi yang aneh, malam itu di sana hanya ada kami bertiga, tak biasanya memang, sepengetahuan warung dardja tak pernah sepi, biasanya ada saja yang kumpul-kumpul baik dari kawan LBH, perkumpulan Inisiatif, Walhi, atau kawan yang singgah untuk ngopingopi dan menginap.
Lewat tengah malam saya
beranjak ke atas, mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Om Wahab pun katanya mau
merebahkan tubuh dan mencoba untuk tidur.
Sambil berbaring di
kamar depan yang begitu banyak lukisan, terpikir sejenak bahwa merasa sendirian
itu cukup mengerikan, ya barangkali itu yang orang namai dengan kesepian.
” Noer, coba foto saya sambil gini, buat ganti
foto profil,” ucap Om wahab waktu lalu, September 2020
Dan tak terasa, ruang kantor pergerakan, Warung Dardja, Eksebisi 59, kini sampai pada tepi untuk mungkin memulai lagi di lain ruang, segalanya kembali pada kesewajaran, pertemuan--perpisahan, berhenti--menepi untuk memulai lagi.
"aku simpan air
mata di jemari tangan kiri, biar baur di bukubuku gitarku"
(aku simpan air
mata)
".. aku ingin
menyusuri bentang waktu
dan menemukan rasa..
yang pernah terasa.. "
(aku hanya ingin)
".. kini saatnya
untuk pulang
kembali menuju rumah
kesendirian
menanti matahari esok
pagi
saat di mana aku
menanggalkan baju
bercumbu dengan
alang-alang
mengeringkan air mata di
bawah terik
mendendangkan kemerdekaan... " (dendang kemerdekaan)
SELAMAT TINGGAL RUANG
KOPI PAGI
*postingan status pesbuk
Kang Mukti 20082020
Sebelas tahun sudah
berkelakar dengan ruangan itu. Atmosfirnya seperti seorang Pietro Spina dalam
novel roti dan anggur karya Ignazio Solone, meski tak seperti yang sebenarnya
namun arus sungainya hampir begitu deras. Tak ingin lagi saya mengingatnya
sekali pun. Sebab, di ruang yang akan datang buku novelnya berganti sudah,
novel tentang nama sebuah pulau. Terimakasih pada semua yang pernah merasakan
ruang itu, ruang yang tulus di ini di itu...goodbye epribadihhh
Waas pisan...
Terima kasih, Terima
kasih
Hatur Nuhun
Warung Dardja, Freedom, 21122020
noer listanto alfarizi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar