Minggu, 20 Desember 2020

KOPI, SEBUAH PERJALANAN RASA YANG TAK PERNAH USAI (2)

 TEH BUNGA KOPI

Tak banyak yang tau memang kalau ternyata bunga kopi yang  cantik menawan dan wangi itu bisa dibikin seduhan yang menghangatkan dan memilki khasiat bagi kesehatan. Memang masih sedikit mereka yang bereksplorasi dengan seduhan bunga kopi, mungkin selain bunga kopi yang semusim sekali berbunga, juga cara pengolahan untuk dijadikan seduhan belum sepopuler cascara yang tak lain adalah teh dari kulit buah kopi.

Biasanya pohon kopi berbunga setelah masa panen hampir usai, di mana bunga kopi muncul lalu disusul dengan tumbuhnya bakal tempat buah kopi berkembang. Umunya masa berbunga pohon kopi sekira tiag sampai lima hari, saat-saat itulah momen yang tepat untuk memetik bunga kopi untuk dijadikan bahan seduhan. Dalam pemetikannya pun mesti hati-hati, jangan sampai merusak bakal tumbuh buah kopinya, ketika proses pemetikan kita akan disajikan dengan harum bunga kopi yang begitu khas, jangan aneh kalau missal lambat laun kepala menjadi pening sebab harumnya cukup tajam.

Setelah proses pemetikan, bunga kopi diangin-angin atau didiamkan dalam suhu ruangan sebab bunga kopi cenderung mudah layu dan kering, nanti ketika sudah hampir kering bisa diseduh atau direbus. Mesti hati-hati juga jika menyeduh bunga kopi yang masih segar, kalau terlalu banyak, cukup membuat kepala pening. Biasanya tiga sampai tujuh bunga untuk dua gelas.


Desember, 2020

#kopisangray #tehbungakopi #kembangkopi

KOPI, SEBUAH PERJALANAN RASA YANG TAK PERNAH USAI

 YANG MENGAKAR DALAM DIAM, TUMBUH TANPA TERGESA

 

Entah sejak kapan eksistensi kopi mulai naik kembali, khusunya di Jawa Barat, sebab pernah terjadi buah-buah kopi sulit untuk dijual. Salah satu mungkin yang bisa dicurigai adalah tayangnya film filosofi kopi yang cukup ramai ditonton dan dibicarakan anak-anak muda masa kini. Kopi yang tadinya hanya sebagai pelengkap ngobrol dan ngumpul, sekarang nyaris menjadi tema di sebagian banyak acara kumpul-kumpul, hingga terlahir isitilah kopi snob, kopi serius, kopi setan, dan lain sebagainya.

 

Eksisitensi kopi yang makin ke sini makin masuk ke wilayah gengsi dan gaya hidup membawa angin segar bagi para pegiat kopi, baik dari hulu selaku produsen yaitu para petani, atau pun di  hilir yaitu para penikmat dan penyaji. Makin banyaknya café-café, meningkatnya jumlah kedai-kedai memberi banyak ruang pecinta kopi untuk menikmati kopi dari berbagai wilayah, dan menjadi pasar yang cukup menjanjikan untuk kopi-kopi lokal yang tak kalah pamor dari segi kualitas rasa dari kopi luaran.


Banyaknya permintaan menumbuhkan banyaknya pengusaha-pengusaha kopi dari mulai yang kecil-kecilan mengolah hasil tanamnya, sampai membuka pabrik sendiri di sekitar area perkebunan kopi milik gabungan kelompok tani. Selain dari itu, muncul juga eksistensi dari jenis varietas kopi, semisal typical, ateng, cigararuntang, lini ss, dan lainlain, juga dari proses pasca panen yang makin ke sini banyak pegiat kopi yang melakukan eksperimen-eksperimen demi mencari rasa yang unik dan menakjubkan.

 

Pada mulanya adalah menjual kopi, namun ketika makin banyaknya orang yang menjual kopi akhirnya yang dijual adalah rasa kopi, itulah yang kini sedang menjadi trend di kalangan pegiat kopi, setiap orang mencari—menamai kopi-kopi hasil olahannya, semisal kopi gulali, kopi nangka, dan yang kini sedang eksis adalah kopi wine, yang di mana pengolahannya lumayan rumit dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Persaingan-persaingan itu memberi dampak positif bagi perkembangan dunia perkopian, sebab bagaimana pun para penikmat kopi adalah para pemburu rasa dari secangkir pekat sejuta inspirasi itu, sehingga umumnya mereka akan senantiasa berburu rasa-rasa yang unik, baru, dan penuh kejutan.

 

Namun sayangnya, sebagian banyak pegiat  lebih fokus di hilir, sehingga wilayah hulu sebagai produsen seringkali terabaikan, hal ini tentu akan berakibat pada kualitas kopi yang di hilir, ketika permintaan melonjak, orang-orang berlomba-lomba menanam kopi, sisi baiknya pasokan kopi beberapa tahun ke depan aman kalau eksistensi kopi masih bisa terjaga, dan sisi lainnya adalah benih yang ditanam cenderung acak, artinya akan berpengaruh pula pada rasa kopi dan umur produktivitas pohon kopi. Bahkan di tempat-tempat penyemaian benih pun, banyak benih yang dipertanyakan kualitasnya.

Hal-hal yang cukup jarang dilakukan akhir-akhir ini adalah menyemai benih yang baik.

 

PENYEMAIAN

Ketika makin banyak orang menanam, makin banyak pula mereka yang menjual bibit-bibit pohon kopi, beberapa kali saya menemukan orang-orang mengambil “kongkowak” (benih pohon kopi yang tumbuh sendiri sebab buah kopi jatuh ke tanah) untuk ditanam di kebun-kebunnya, dan tak sedikit pula yang dijual. Sebenarnya kongkowak juga adalah benih kopi hanya saja sulit untuk mengetahui apakah dari biji kopi matang atau tidak, dan apakah dari pohon yang sudah cukup umur untuk dijadikan benih atau tidak, itu yang menjadi persoalan, sebab benih yang acak cukup berpengaruh pada usia produktivitas pohon kopi, dalam praktiknya benih-benih muda itu umumnya bertahan sampai dua musim, dan untuk musim berikutnya akan nampak penurunan produktivitas baik dari kualitas maupun kuantitas biji kopi yang dihasilkan, dan tentunya ini akan menuntut petani kopi untuk pemeliharaan yang ekstra, yang biasanya adalah pemangkasan atau tak jarang pula mengganti dengan benih baru, dan itu seolah kembali ke awal. Beda halnya ketika pohon kopi dihasilkan dai benih yang matang dan dari pohon yang usianya sudah cukup untuk dijadikan benih, selain produktivitasnya yang cukup stabil, juga imunitas pohon yang sudah kuat, sehingga cukup aman dari gangguan hama-hama yang biasa menyerang pohon kopi.

Banyak metode-metode penyemaian yang digunakan, dan sah-sah saja, yang paling penting adalah sumber benih. Usia penyemaian memang relative, umumnya dari “ngabungbun” sampai “nyengka daun” bisa mencapai 2-3 bulan, dan baiknya jangan dulu dipindahkan sebelum ketinggian 30cm-60cm, sebab akarnya masih rawan.

Akhir-akhir ini banyak pula mereka yang bergiat di wilayah kopi yang fokus menjual biji pilihan untuk benih, dan cukup lumayan juga tanggapan dari para pegiat kopi lainnya, mungkin sebab memang jarang di kalangan pegiat kopi yang menyengaja menjual biji kopi pilihan untuk dijual sebagai benih. Sebab lebih banyak dari mereka yang mungkin membeli langsung benih kopi yang berupa pohon dan cukup tinggi walaupun kadang tak pernah tau dari mana sumbernya.

Di masa pandemi yang belum tau sampai kapan terjadi, mungkin ada baiknya mencoba menyemai benih-benih pohon ya semisal kopi, minimal untuk ditanam di halaman rumah yang mungkin nantinya bisa menjadi konsumsi pribadi, mengingat kita di hadapkan pada bayang-bayang resesi dan kelangkaan pangan, tak ada salahnya mencoba memanfaaatkan ruang dan waktu yang tersedia selama #dirumahsaja , dan sebagai upaya menjalin konektivitas dengan alam yang lebih sering kita berjarak dengannya. Selamat menanam , tetap sehat dan bahagia penuh kegembiraan. Jangan lupa ngopi dan bahagia..

Kopi Sangray, 2020

#kopisangray #menuliskanperjalanan #bicarakopi

Sabtu, 24 Oktober 2020

KUNJUNGAN KOPI SANGRAY


BERKUNJUNG KE SAUNG BACA KAPINIS



video ini dibuat oleh Kang Dani Kuswandi, pendiri sekaligus penggerak di Saung Baca Kapinis yang berlokasi di Giriawas, Cikajang, Garut.
setiap sabtu dan minggu seringkali diadakan kegiatan yang menarik, seperti bincang-bincang bersama para pelaku seni budaya, tukar pemikiran bersama masyarakat setempat, sampai berlatih menjadi penyiar di radio yang dibikin oleh kang Kuswandi.

kang Dani juga, begitu panggilan akrabnya, pernah beberapa kali sowan ke dapur incu, ruang produksi kopi sangray, dan sudah beberapa kali membuat video untuk kopi sangray.

yang mungkin belum kesampaian sampai saat ini, adalah ngobrol santai sambil ngopi sangray, sudah beberapa kali diagendakan, namun belum juga klilk. semoga lekas bisa kembali berkolaborasi saling berbagi cerita dan kebahagiaan sambil menikmati hangat bercangkit-cangkir kopi sangray.

hatur nuhun Kang.


beberapa video lainnya ada di akun youtube Saung Baca Kapinis



 

Sabtu, 10 Oktober 2020

TESTIMONI PENIKMAT KOPI SANGRAY

 Berikut beberapa kiriman video dari penikmat Kopi Sangray


video kiriman dari kang Agus Bebeng yang tiada lain dan tiada bukan adalah salah seorang wartawan Antara, juga fotographer, ditambah adalah seorang pecinta ikan guppy. selain dari pada itu beliau juga adalah seorang seniman dan aktivis. beliau menamai Kopi Sangray dengan nama lain Kopi Sastra, mungkin sebab cukup banyak yang menjadi penikmat Kopi Sangray dari kalangan penulis, baik penyair, cerpenis, sampai ke pemain teater.


selanjutnya adalah video terstimoni dari seorang Penyair Perempuan Indonesia asal Garut, yang juga guru yoga dan sebagai pengusaha keren pastinya, adalah Teh Ratna Ayu Budhiarti. sudah banyak tentunya buku-buku yang disusun oleh Penyair ini, salah satunya adalah bukuk puisi "Sebelas Hari Istimewa" yang memuat puisi-puisi dari perjalanan-perjalanannya melintasi berbagai sudut dunia. akhir-ahir ini selain menulis puisi, Teteh anggun dan menawan ini mulai merambah penulisan naskah drama diselingi dengan meracik donat dan menulis fragmen-fragmen romansa di status media sosialnya.


selanjutnya adalah video kiriman dari salah seorang perempuan tangguh bernama mba Anita Fajarwati dari Jawa Tengah yang kini bergelut dibidang rajut-merajut, ini versi singkatnya, beberapa kali beliau membuat video khusus untuk Kopi Sangray, selain merajut cinta dengan benang beraneka warna dan rupa, beliau juga ternyata adalah seorang pelukis yang enggan disebutkan namanya, ya , aktivitasnya cukup padat dan multitalent juga, dari mulai merajut, melukis, bikin ilustrator, sesekali menulis, juga pandai memasak. 

cukup banyak kiriman video testimoni dari para penikmat kopi sangray, sebagian diposting di akun instagram @kopisangray, juga di halaman facebook Kopisangray.

terima kasih sangat kepada atas apresiasi juga suport selama ini, semoga senantiasa sehat penuh semangat, bahagia penuh kebahagiaan,

Kopi Sangray


Kamis, 08 Oktober 2020

Minggu, 04 Oktober 2020

EPISODE PERJALANAN SECANGKIR KOPI #1

PETIK MERAH

 




ya, ketika masa awal panen kopi, hal yang cukup sulit adalah memilih kopi yang merah matang, sebab di awal masa panen hanya beberapa biji-biji kopi yang benar-benar matang.

 

hijau, hijau-kuning, kuning, kuning-merah, merah, merah matang.

 

hal tersebut juga yang membuat sebagian besar petani memilih cara panen kopi bukan dengan petik merah, melainkan campur.

 

tahun 2015 pernah sosialisasi dan mengajak beberapa petani untuk petik merah, namun cukup susah, karena kebutuhan dapur ngebul lebih penting.

 

"hese atuh hayang beureum kabeh mh, da ti baheula ge ngala kopi mah dirad (tanpa dipilih), " ucap Ema sekira tahun 2015an

 

waktu berjalan, ketika masa panen saya sering metik sendiri, dan tak jarang pula Ema bertanya, juga begitu bahagia melihat warna merah biji kopi yang matang.

lambat laun Ema juga memetik kopi yang sudah matang.

 

"keur inumeun mah kudu nu alus, meh ngeunah karasana," ucap Ema waktu itu

 

hingga kini, alhamdulillah pohon kopi mulai memasukinya masa panen yang padat, nyaris tiap hari kami memetik kopi.

 

sebelum berangkat ke kebun, biasanya kami menikmati secangkir kopi yang sudah diolah, menikmati hasil keringat dan perjuangan, menikmati penantian yang cukup panjang, menikmati doadoa yang diucap diam-diam..

 

Cikajang, 27062020

#menuliskanperjalanan

#episodekampung halaman

#nla #kopisangray

Jumat, 02 Oktober 2020

Kopi Sangray di Warung Dardja

Warung Dardja dan Obrolan Tentang Kopi


( Kang Wisnu sedang menjelaskan tentang kopi dan lain sebagainya )

Foto ini diambil sekira tahun 2014/2015/2016 saya lupa lagi,  di suatu malam yang dingin di warung dardja atau KPRI

“ayo Nur , kita bedah kenapa harga kopi saset bisa sampai 1500-200/saset, kita bedah kira-kira bahan baku kopinya di kisaran harga berapa, ya ini kira-kira saja”, ucap kang Timbul atau dulu bernama Juragan Wisnu sang Empu dari tanah Wonogiri.

 

Kang Wisnu adalah salah satu guru saya di bidang perkopian, beliau yang senantiasa sabar dan tabah membimbing saya mempelajari seluk-beluk perkopian dan sesekali kadang mendengarkan curhatan picisan saya. Dari mulai pengenalan proses pasca panen yang baik dan kurang baik, kualitas gabah dan greenbean, sampai ke mempelajari profile roasting dan cupping beserta praktiknya. Kebetulan pada saat itu di warung dardja ada produksi kopi dengan merk coffee congress. Dengan pasokan kopi dari berbagai wilayah, dan tentunya langsung dari para petani kopinya, belajar sambil praktek tentu hal yang asik dan menakjubkan. Setiap hari selain mencicip lebih dari tiga gelas kopi, juga menyerap berbagai macam pengetahuan dari mulai pembibitan kopi sampai cara penyajian, setiap harinya penuh dengan eksperimen dan temuan baru.

 

Kembali lagi ke malam itu, saya yang pada waktu itu minim sekali pengetahuan soal kopi dan bagaimana pasar kopi berkembang tentu sangat antusias dan “ngaregepkeun” dengan khusyuk. Banyak hal dikupas oleh kang Wisnu yang ternyata seorang Antropolog juga.

 

“tah Nur, segini hasilnya tadi pas kita hitung bareng itu, dari mulai biaya produksi, promosi, dan lainlain, kebayangkan kopi seperti apa yang digunakan?, ya, mungkin kopi yang bagusnys mereka ekspor, sisanya ya, seperti yang sering kita saksikan sendiri. Bahkan para petani kopinya di kampung, minum kopinya ya kopi dari warung, nah itu jadi tugas Nur buat edukasi kawan-kawan di kampungmu,” ucap Kang Wisnu kemudian menyeruput kopi yang sudah dingin dan tinggal beberapa teguk lagi

 

Saya hanya mengangguk-ngangguk iya-iya saja, sambil terbayang wajah-wajah petani kopi di kampung  yang memang pada waktu itu ngopinya kopi dari warung, padahal memiliki kebun kopi sendiri.

 

Hatur nuhun Kang

Was pisan

 

Cikajang, 28.09.2020



Selasa, 29 September 2020

Kopi Sangray di Pameran Seni

 Contemporary art need water, fire, and coffee

 

Sebuah narasi menggelitik dari seniman street-art Iwan Ismael ketika ngobrol ringan di sela jeda rehat persiapan pameran tunggalnya di rumah prosesnya Rudi St Darma alias kang Uday di Jl Mutumanikam, Buah Batu, Bandung. Obrolan santai namun serius itu bermula ketika kami berbincang tentang #kopibakarkopi yang bersalin nama jadi #tungkubromvit kemudian kini menjadi #captungkubromvit. Ya, akhir-akhir ini Mael, sapaan akrab beberapa kawan seniman lainnya, seringkali mengadakan seduh kopi gratis sambil demonstrasi cara penyajian kopinya, ada yang menarik dari cara penyajiannya, yakni dengan tungku yang bisa dilipat, dan dengan api yang dihasilkan dari bubuk kopi yang dikeringkan lalu dijadikan serupa kayu bakar. Di atas tungku unik itu, kopi dididihkan langsung, bukan diseduh. Di beberapa daerah di Indonesia pun banyak teknik-teknik penyajian kopi yang khas dan unik, tentunya di sini Mael yang juga bos #kampretsyndicate merespon seni yang sedang booming di kalangan generasi muda, yakni seni penyajian kopi dan kopi itu sendiri.

( poster pameran Iwan Ismael )

 

Balik lagi ke judul, kalau ditelaah lebih dalam, lalu kemudian kita kerucutkan, bahwa gagasan-gagasan seni komteporer memang seringkali hadir dari saripati “water, fire, and coffee”. Tentu saja hasil dari kontemplasi, introspeksi, diskusi yang berkala dan terarah dari para pelaku seni itu sendiri.

( Iwan Ismael tengah diwawancara oleh beberapa wartawan)

Water

Pada sebuah bincang-bincang singkat dengan Iwan Ismael ketika ditanya perihal konsep dalam pameran tersebut , ” Aku nggak pernah bikin konsep apapun, ini mengalir saja. Aku menemukan hal unik dalam perjalanan, aku naikkan jadi stensil, awalnya seru-seruan saja, tapi ketika dikumpulkan ternyata lumayan banyak juga,” ucap Iwan Ismael sambil tertawa.

 

Mael juga bilang bahwa mereka yang menjadi model stensilnya kebanyakan oranng biasa, “aku biasanya ketemu, lalu aku kira menarik dan merasa tertarik, biasanya aku ajak ngobrol ngopi-ngopi, lalu aku tawarkan untuk jadi model buat stensil, kalau ya, aku agendain lagi untuk pengambilan gambar,” tuturnya.

 

( melihat proses dalam berkarya )

 

Ketika ditanya sudah berapa banyak stensil yang dihasilkan, Iwan menjawab tidak tau, sebab selama ini tak pernah menghitung, menikmati proses dan terus berjalan dengan bersenang-senang.

( foto H-1 Pameran Iwan Ismael )

Fire

Teringat sebuah ungkapan dari seseorang bahwa “ api kecil adalah sahabat, api besar tanda bahaya”, barangkali itulah yang terjadi pada keseharian Iwan Ismael, begitu bersahabat dengan api kecil, ya kita bisa saja menafsirkan api kecil itu sebuah korek yang membakar sebatang rokok, menghasilkan kepulan-kepulan gagasan abstrak yang nantinya dikembangkan menjadi sebuah karya yang ciamik dan menakjubkan. Atau juga boleh jadi api di sini adalah semangat yang tak pernah padam, yang menjadi penerang jalan, melenyapkan dinginnya gagasan-gagasan di musim berkesenian, tentunya setiap orang punya interpretasi sendiri soal itu,

 

( Noer Listanto Alfarizi, menyiapkan api sebelum pameran dimulai )

 

Coffee

Barangkali ini hal yang cukup menarik dalam pameran Iwan ini, menghadirkan sumber dari mana inspirasi itu berawal sekaligus menjadi penyambung lidah makna antara karya dan pengapresiasi. Kopi, ya, dalam pamerannya kali ini, Iwan menghadirkan stan kopi tepat di tengah-tengah pamerannya, membawa tiga tungku ciptaannya, juga merekrut seorang penyeduh kopi untuk mendemostrasikan temuan #kopibakarkopi dan #captungkubromvit. Street art, ya jalanan memang tak pernah lepas dari imej nongkrong-nongkrong, kepulan asap, dan bercangkir-cangkir kopi. Ketika masuk ke ruang pameran, saya kira atmosfirnya serasa berada di belahan bumi mana, aroma kopi menguar, mengharumi ruang pameran yang penuh dengan mural, stensilart, dan perbincangan-perbincangan di antara pengunjung yang datang. Tersedia bercangkir-cangkir free-coffee yang langsung disajikan dengan teknik yang unik.


( suasana di pembukaan pameran seni Iwan Ismael, Kopi Sangray hadir )

Pada pameran kali ini Iwan Ismael bekerja sama juga dengan Kopi sangray (@kopisangray ) untuk penyajian kopinya, dengan penyeduhnya Noer Listanto Alfarizi, yang tak lain adalah salah satu teman ngopi-ngopinya.

 

     

( Noer Listanto Alfarizi, sedang menyiapkan kopi buat pengunjung )

Pameran kali ini cukup ramai dan penuh perbincangan, diskusi-diskusi ringan dan serius hadir dalam beberapa kelompok, hadir juga beberapa wartawan yang meliput, pameran yang digelar selama seminggu itu cukup menyedot masyarakat kota Bandung khususnya untuk mengapresiasi karya dan pelaku seni, tak sedikit pula dari luar kota yang menyengaja datang penuh apresiasi atau bahkan merencanakan pameran serupa di kota-kota mereka.


Contemporary art need water, fire, and coffe.

Semoga dunia kesenian Indonesia terus berkembang dan para pelaku seni tetap eksis dan sejahtera di tengah arus globalisai dan teknologi yang kian pesat.

                       

( H-2 proses persiapan pameran )

( dua sejoli asik berpacaran sambil menikmati kopi dan karya seni  )

Tetap ngopi dan semangat

Bravo !

20182020

#menuliskanperjalanan #kopisangray





Rabu, 26 Agustus 2020

JELAJAH KOPISANGRAY KOPIGARUT #3

 KUNJUNGAN JURNALIS (Australian Finance Review) ke Dapur Incu Kopisangray


ya, segalanya terjadi begitu mendadak, cepat dan cukup mengejutkan. 

Mba Natalia Santi menghubungi saya via inboks Facebook hari Selasa dan mengatakan ingin berkunjung sekaligus mencari-cari informasi soal perkembangan kopi di Indonesia. Saya sempat menjawab bahwa untuk hari Kamis, saya sudah ada agenda, dan Mba Natalia sempat bilang mungkin lain kesempatan.


Tiba-tiba hari Rabu, mba Natalia menelpon menanyakan kesanggupan saya akan kunjungan mba Natalia dengan atasannya yang tak lain adalah Mrs. Emma, Jurnalis dr Australian Finance Review. Saya tak bisa menolak kesempatan yang sungguh sempat membuat saya degdegan ini. 

Saya mengiyakan, lalu menanyakan schedule dan apa saja yang dibutuhkan.


Mba Natalia dan Mrs. Emma berencana mencari info dan data soal perkembangan perkopian di Indonesia, khususnya daerah Garut, untuk merespon dr perjanjian yang baru ditandatangani pihak Indonesia dan Australia, soal ekspor-impor. Dan salah satunya adalah Kopi.


Hari Kamis sore kami bertemu di Kedai Kopi Koboi yang kebetulan dekat dengan Hotel di mana Mrs. Emma menginap, kami ngobrol-ngobrol soal teknis perjalanan juga data apa saja yang dibutuhkan. Dalam dialog tersebut saya menawarkan dua konteks, soal Kopi Kultural dan Kopi Industri.

akhirnya kami sepakat itu menjadi salah satu tema dalam perjalanan kami.


Kamis Malam, saya mengontak kawan saya, Kang Yufik, untuk menemani perjalanan sekaligus menyewa mobil Trooper beliau yang sempat pula diajak ke pelosok Garut.


Berangkat


Bandung pagi hari, berbekal rasa penasaran pun takjub akan kehangatan matahari pagi, Saya, Kang Yufik, Mrs. Emma yang membawa anaknya yang tengah liburan di Jakarta, juga Mba Natalua, kami berangkat dengan sarapan kopimorning dalam mobil, sempat terjebak kemacetan walau pada akhirnya tiba sesuai jadwal. 

sepanjang perjalanan, sambung menyambung tanya jawab mengalir spontan saja, walau memang dengan rajin Mba Natalia menyalin jawaban pada laptop yang sejak berangkat sudah stand by.


Tiba




kami tiba di Cikajang, Garut pukul 10:00 WIB setelah menempuh tiga jam perjalanan dan langsung disuguhi penganan khas pedesaan, kukus ubi alias seupan hui, goreng singkong alias sampeu goreng, sepoci teh hangat, dan tak lupa pula, bercangkir-cangkir kopi,




ya, kami ngopingopi sambil berdiskusi ringan soal kopi dan kehidupan sehari-hari, sebelum bergegas menuju kebon kopi terdekat untuk memastikan keadaannya dan menjumpai bungabunga kopi yang mulai bermekaran serta biji-biji kopi yang sebagian masih tersisa yang ranum merah matang. 


tiba di kebun, Mrs. Emma langsung mengajukan beberapa pertanyaan yang diterjemahkan langsung oleh Mba Natalia Santi, beberapa pertanyaan mengenai luas kebon, kuantitas hasil panen permusim, sampai dijual ke mana / ke siapa panenan kopi di kampung.


selain itu, Mrs. Emma juga menanyakan perbedaan cara berkebun kopi, sebab ketika mengunjungi kebon kopi milik Ma Okon, terkesan seperti miniatur hutan, ya, memang dalam cara berkebun kopi, Ma Okon menerapkan multikultur, jadi tak hanya kopi yang ditanam, ada alpukat, pisang, terong, nangka, dan lain sebagainya, selain berfungsi sebagai peneduh juga hasilnya bisa dipetik untuk kebutuhan sehari-hari.


Mrs. Emma membandingkan dengan perkebunan-perkebunan kopi di luar negri, pun di beberapa tempat di Indonesia yang hanya menanam kopi, sehingga benar-benar hanya kopi dalam satu kebun itu.


Kopi Kultural & Kopi Industri



dalam pemahaman awam saya, saya beranggapan bahwa kopi kultural adalah kopi yang diproduksi oleh petani kopi itu sendiri, yang awalnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun sebab ada kelebihan dari hasil panen, akhirnya dijual dalam bentuk sudah disangray/roastbean atau bubuk, yang makin ke sini dipadupadankan dengan kemasan menarik dan elegan. Namun tentu saja kapasitas produksinya terbatas, sebab melihat kuota panen juga proses pengolahannya yang hanya melibatkan keluarga petani saja. 



untuk mencari data soal Kopi Kultural, Mrs. Emma menggunakan sampel Kopisangray, sempat pula Mrs.Emma melihatlihat ruang produksi Kopi Sangray yang bernama Dapur Incu, percakapan-percakapan sambung menyambung dari tentang bagaimana awal mula Kopi Sangray lahir sampai ke mana saja distribusinya juga berapa persentase omset pertahun yang dihasilkan oleh Kopi Sangray, wawancara ringan dan enjoy sambil menyicip bercangkir-cangkir Kopi Sangray hitam pekat.


Sebelum pulang, Mrs. Emma memesan beberapa bungkus Kopi Sangray untuk dibawa pulang sebagai oleholeh, mengingat Herriot, anak gadisnya begitu menyukai kopi tubruk dari kopi sangray itu. Bahkan Herriot meminumnya lebih cepat dari umumnya orang minum kopi, "saya suka, rasanya kuat kopinya pekat", ucapnya dalam bahasa Inggris 


selain Kopi Sangray, saya sertakan pula Kopi kemasan lain hasil dari para petani lainnya juga, salah satunya Kopi dari Buruan Manglayang yang dikomandoi oleh Kang Yufik.

sebelum pamitan, seperti biasa kami foto bersama, dalam kesempatan ini bahkan saya sampai lupa untuk foto-foto saking takjub dan merasa tak percaya dikunjungi Mrs. Emma beserta tim untuk menyengaja datang berkunjung ke ruang produksi Kopi Sangray

PULANG 

sebelum mengantar Mrs. Emma pulang ke Jakarta, kami mampir ke Pabrik Kopi Sunda Hejo yang berada di Kamojang, untuk bertanya-tanya soal Kopi Industri, yang dalam proses produksinya melibatkan beberapa mesin dan kapasitas produksinya yang lebih banyak dan memang ditujukan untuk komersil, baik ekspor atau pasar lokal. 


sejauh informasi yang didapat, Sunda Hejo sedang dalam masa belum produksi besar-besaran, didapat informasi kapasitas produksi bisa mencapai 150ton dan sebagian sudah diekspor.

kami juga menyempatkan untuk menyeruput beberapa seloki kopi yang disajikan barista di kedai sunda hejo.

Tak banyak memang informasi yang didapat, sebab kunjungan sedang dalam masa belum panen raya, ditambah pemilik Sunda Hejo pada waktu itu sedang tidak berada di lokasi.


Kami pulang sekira pukul 15:00 WIB, ketika sore mulai hangat dan situasi perjalanan yang menyenangkan, selama perjalanan saya masih diwawancarai, dan bagi saya, itu saat yang sungguh dramatis, di mana entah mengapa waktu itu saya begitu lancar menyampaikan bagaimana awal mula saya terjun di dunia perkopian, dan ternyata hasil obrolan ringan itu yang akhirnya menjadi penutup dari artikel yang ditulis oleh Mrs. Emma di laman Australian Finance Review. 





" Iqbal used to supply coffee shops in Jakarta, 240km away, with the family crop but now he sticks to Bandung, which is just 93km down the road, where there are more than enough hip cafes keen for his organic crop.


“I felt the coffee calling me,” he says, remembering that morning. It seems it calls him still. "











https://www.afr.com/world/asia/indonesia-s-growing-coffee-habit-a-sign-of-economic-progress-20191124-p53dkm


Terima kasih telah berkunjung dan berbagi kegembiraan.

semoga di lain kesempatan bisa berkunjung kembali dengan penuh kebahagiaan.










November, 2019

#menuliskanperjalanan #kopisangray #kopigarut #jurnalis #kopiindonesia #kopi #dapurincu @dapoer.incu @kopisangray @noer_alfarizi 



Jumat, 21 Agustus 2020

Kopi Sangray dan Seteguk Kisah di Warung Dardja

KOPI SANGRAY dan SETEGUK KISAH

di WARUNG DARDJA 


dari sinilah awal mula perjalanan, Warung Dardja.

Pun Kopisangray terlahir dari hangat dialog-dialog pagi yang lebih dikenal dengan istilah kopimorning di mana Bi Isah sebagai barista ramah dan mendamaikan juga sebagai kepala polisi dapur hehe , setelah kopi tersaji barulah Kang Mukti (sebagian banyak kawan memanggil Emang/Mang Mukti) memulai percakapan tentang cinta dan rasa syukur yang mesti senantiasa tumbuh dalam jiwa dan pikiran.



sesekali kami menikmati sajian musik jiwa, dari alunan lembut gitar nylon yang menarik kami pada bait-bait cinta dan memori masa lalu yang begitu mesra dan penuh gelora. Tak jarang pula lagu-lagu nostalgia mengalun, melingkungi meja panjang tanpa sudut, duduk melingkar gagasan berputar, tawa dan kelakar berganti debar.


hangat matahari, hangat masa depan yang kami siangi, kami sirami, kami bangun dengan cinta dan kegembiraan.


"... di beranda itu, kawankawan.. 

harihari rebah, matahari pagi petang

menuangkan cahayanya..."

( surat kepada d ) 


banyak pula catatan-catatan perjalanan lahir, puisi-puisi mengalir, lagu-lagu tercipta, dan orangorang datang dan pergi membawakan kisah yang menginspirasi.


Warung Dardja, yang kemudian bersalin nama menjadi Eksebisi 59.

awal mula saya mengenalnya dengan nama kantor pergerakan. Ya, di sana saya bertemu Kang Mukti, Kyai Matdon, Kang Sapei Rusin, Ibu Ajeng Kesuma, Kang Edos, Kang Trisno, Kang Wisn, yang menjadi guru sekaligus sahabat, juga bertemu kawankawan lainnya yang sampai sekarang masih senantiasa bertukar ide berbagi cerita.

"... aku hanya ingin mencintaimu

seperti kisah syair kecil, mendekap nyanyian jiwa.. " (aku hanya ingin) 


Ruang Seni


saya mulai aktif dan sering berkunjung ke Warung Dardja dari akhir tahun 2011, sebab pada waktu itu, seringkali kegiatan seni berlangsung di sana, dari mulai Pengajian Sastra Majelis Sastra Bandung, Stand Up Komedi, Konser Musik Balada, Pameran Lukisan, dan banyak lagi kegiatan lainnya.


dan tak jarang pula setiap 17 Agustus, diadakan Upacara bendera dilanjut dengan kopimorning dan menikmati seduhan air sereh dan jeruk nipis dr Bu Ajeng, atau Cilok pangeunahna saBandung dr Kang Matdon dan kudapan lainnya.



 
 ( foto : Bu Ajeng kesuma )

saya merasa memiliki keluarga baru, sekolah baru, ruang hangat dan tumbuh bersama. Saya juga menyaksikan cukup banyak kawankawan muda yang bergiat di sana, baik sebagai aktivis mahasiswa atau pun berkegiatan seni dengan gembira.


Kopi


sekira tahun 2015, masih hangat dalam ingatan, Kang Mukti bilang, "nggeus maneh th kaluar gawe, balik ka lembur, urus lembur, urus naon we nu aya di lembur". Beberapa kali beliau berpesan, ketika Kopimorning, pun ketika ngopi dini hari.

nasihat itu seringkali saya resapi, hayati baikbaik ketika bekerja, waktu itu saya bekerja sebagai buruh pabrik di pabrik karet daerah Arjuna, dekat pasar Ciroyom.

pernah suatu ketika, ketika lembur kerja sampai larut malam, saya memikirkan nasihat tsb sambil duduk di teras mushola, sambil memakai sepatu lalu berjalan menuju tempat kerja, nasihat itu terus saya pelajari dan mencoba untuk mewujudkannya. 


makin ke sini saya makin sering berkunjung ke Warung Dardja, ngobrol soal pembebasan tanah, perjuangan, pergerakan, lalu sampai pada pembicaraan pengolahan kopi.

Ibu Ajeng, yang seringkali membawa kopi hasil olahan petanipetani kopi, dan seringkali kami membicarakan perjuangan itu di sesi Kopimorning. 

Lambat laun Ibu Ajeng menyarankan saya untuk mengolah kopi sendiri, pun Kang Wisnu alias kangtimbul.


 (Foto : Kang Yufik)

ketika pulang ke kampung cukup lama, saya beberapa kali mencoba mengolah kopi sendiri, dan bertanya banyak ke emak (nenek), emak sungguh antusias, dibimbingnya saya dengan perlahan, sambil diceritakan kisahkisah masa lalu, bagaimana pohon kopi ditanam, lalu diolah untuk konsumsi rumah sendiri sama Abah (ayahnya emak) untuk teman ngadu bako, pada waktu itu Abah adalah petani tembakau.


cukup lama saya belajar dan tumbuh bersama, Warung Dardja seolah menjadi kawah candradimuka, dari belajar soal kopi, kemerdekaan berpikir dan berkehidupan bahkan dalam laku spiritual.


Tahun 2016 lahirlah Kopisangray, setelah beberapa kali uji rasa, baik dr greenbean, hasil sangray, beberapa kali pula saya belajar menyangray kopi manual juga dengan panduan teoriteori kopi masa kini. Pada waktu itu, di Warung Dardja juga terbentuk Kopi Congres, cukup sering kegiatan soal kopi berlangsung di sana.


sedikit drama, saya seolah merasakan betul orangorang datang dan pergi, awal mula banyak kawan-kawan berkumpul maen kartu, remi atau sevenskop, nonton bola, sampai duduk sibuk dengan dunia maya.

namun satu yang umumnya terlihat, kebahagiaan dan kegembiraan.


2020


"aku tau aku yang mesti pergi..

tapi... " (system) 



Dan tak terasa, ruang kantor pergerakan, Warung Dardja, Eksebisi 59, kini sampai pada tepi untuk mungkin memulai lagi di lain ruang, segalanya kembali pada kesewajaran, pertemuan--perpisahan, berhenti untuk memulai lagi.

"aku simpan air mata di jemari tangan kiri, biar baur di bukubuku gitarku" 

(aku simpan air mata) 


".. sepi ... godot.. sepi.... "

(catatan wina)


"..kini saatnya untuk pulang

kembali menuju rumah kesendirian

menanti matahari esok pagi

saat di mana aku menanggalkan baju

bercumbu dengan alang-alang

mengeringkan air mata di bawah terik

mendendangkan kemerdekaan... " (dendang kemerdekaan) 


( SELAMAT TINGGAL RUANG KOPI PAGI

*postingan status pesbuk Kang Mukti 20082020

Sebelas tahun sudah berkelakar dengan ruangan itu. Atmosfirnya seperti seorang Pietro Spina dalam novel roti dan anggur karya Ignazio Solone, meski tak seperti yang sebenarnya namun arus sungainya hampir begitu deras. Tak ingin lagi saya mengingatnya sekali pun. Sebab, di ruang yang akan datang buku novelnya berganti sudah, novel tentang nama sebuah pulau. Terimakasih pada semua yang pernah merasakan ruang itu, ruang yang tulus di ini di itu...goodbye epribadihhh)

Waas pisan...

Terima kasih, Terima kasih

Hatur Nuhun 


Warung Dardja, Freedom, 20082020

#menuliskanperjalanan #kopisangray #noerlistantoalfarizi 

Jumat, 12 Juni 2020

PANEN KOPI



PANEN KOPI
Kopisangray



"Ngahaja ku Ema dibeureumkeun belah tonggoh mh, meh bisa diala ku maneh," ucap Ema kemarin sore

ya, pagi ini Ema mengajak untuk memanen kopi bersama, tahun ini, kopi di kebun baru dua kali dipetik dengan hasil yang belum maksimal.
curah hujan yang cukup tinggi dan sering, membuat kopikopi jatuh sebelum dipetik, layu sebelum berkembang, ditikung sebelum sempat mengucap cinta.

namun ternyata, semesta punya rencana lain, kemarinkemarin harga cherry kopi sempat turun, kebun kami belum panen.
sekarang ketika masa panen, alhamdulillah harga cherry mulai membaik, senyum Ema berkembang penuh bahagia

"Alhamdulillah gening, rada Ayaan deui hargana, mudahmudahan we siga tahun kamari, " ucap Ema sambil memetik biji merah kopi


ya, sudah cukup lama kebun kopi Ema diolah bersama keluarga, menjadi pemasok utama Kopisangray
diolah dengan cara tradisional, merawat ingatan-ingatan, menyampaikan narasi-narasi masa lalu, dengan gerak halu pada jubleg, pada hangat matahari kala dijemur, pada harum biji kopi ketika disangray.




sudah hampir enam tahun Ema menyambung napas dan semangat hidup dari hasil kebun kopi, tahun sekarang ditambah dengan berkebun waluh/labu, akhir-akhir ini juga Ema rajin menanam jeruk.

Ema seperti mengingat benar-benar masa muda, masa di mana kepedihan begitu dekat, rasa lapar yang tak berjarak, ya, masa itu kopi menjadi pagar-pagar rumah, begitu pula jeruk, ditanam hanya untuk dikonsumsi.

kini masa berganti, zaman berubah, kopi dan jeruk menjadi penyambung kebahagiaan, penambah rasa syukur, bahkan menopang rumah kehidupan, tempat berteduh anak-anak cinta dan kasih sayang.




memasuki masa panen kopi, semoga segalanya lekas membaik dengan baik, tawa bahagia senantiasa menjadi sarapan pagi bagi siapa saja.
tak apa, sekalipun dunia kacau balau, langit runtuh, dan jodoh sulit ditemukan.

salah satu tugas manusia adalah bahagia.
dan dari Ema, saya belajar, bahwa kebahagiaan bersemayam dalam kesederhanaan.

kebunkopi, Cikajang 12062020
#menuliskanperjalanan
#episodekampunghalaman #kopisangray

Selasa, 07 April 2020

Ema yang Menyemai Benih, Cucu yang Menjaga Tradisi (tulisan Ibu Ajeng Kesuma)

Rabu, 27 September 2017
Ema yang Menyemai Benih, Cucu yang Menjaga Tradisi

Ziarah Kebun Kopi, Edisi : jelajah kopi jawa (1)



Ema yang menyemai benih, Cucu yang menjaga tradisi

Menuju Cikajang
Tanggal 3 September, ketika azan subuh baru selesai berkumandang, kami memulai perjalanan menuju Cikajang-Garut. Mengunjungi Ma Okon Winara, perempuan tua petani kopi menjadi tujuan pertama perjalanan kami. Kami belum pernah bertemua sebelumnya dengan Ma Okon. Tapi kisah Ma Okon merawat tanaman kopinya serta tradisi mengolah kopi secara tradisional untuk konsumsi sehari-hari sudah sering kami peroleh dari Noer Listanto. Bagi para pegiat sastra di kota Bandung dan organisasi OI (Orang Indonesia), nama Noer Listanto sudah tak asing. Noer adalah anak muda pegiat sastra di Majelis Sastra Bandung (MSB), ia kerap menulis dan membaca puisi. Noer juga adalah pegiat di komunitas OI Jawa Barat. Namun ketika di Cikajang, di kampung halamannya, nama Noer Listanto tidak setenar nama Iqbal. Padahal Noer Listanto sejatinya adalah Iqbal, cucu lelaki Ma Okon dari anak perempuannya yang ketiga. Sapaan Iqbal tentu sudah sangat melekat bagi keluarga dan orang-orang di kampungnya sejak kecil hingga Noer dewasa. Kami pun akhirnya ikut menyapa anak muda itu dengan Iqbal, sambil sesekali kelepasan juga menyapa dengan Noer.

Rumah yang bersahaja dan suguhan teh hangat
Karena harus berhenti dulu di rumah teman kami untuk mengambil perbekalan serta menghadapi macet di beberapa titik menjelang masuk Garut dan Cikajang, akhirnya kami tiba di kediaman keluarga Iqbal sekitar pukul 09.30 WIB. Ruang tamu rumah itu mungil dan artistik. Kursi-kursi yang seutuhnya berbahan dasar kayu didesain mengikuti lekuk aslinya, sangat alami. Terakhir kami mengetahui kalau apah-nya Iqbal adalah pengkriya yang mendesain dan membuat kursi-kursi itu, serta beberapa furniture lain di rumah Iqbal.

Ketika kami masuk, meja di ruang tamu sudah dipenuhi dengan teh hangat, ubi rebus, singkong goreng dan kue. Tidak ada seduhan kopi. Kopi sangray produksi ma Okon dan Iqbal masih tersimpan rapi dalam kantung kemasan di atas meja yang sama. Yufik teman saya yang asli Sunda berbisik; “ini teh Sunda”. Saya pun baru tahu, ternyata di masyarakat Sunda istilah ngopi itu tidak berarti minum kopi, biasanya jika kita berkunjung yang disajikan terlebih dulu kepada tamu adalah teh tawar hangat. Kendati mereka menyebut dengan, “mangga ngopi” atau “mangga diopi”, bukan berarti ada kopi yang disajikan.
Meski pun kami sering ketemu Iqbal Noer Listanto di Bandung, tapi suasana pertemuan di rumahnya di Cikajang sungguh berbeda. Ia tertawa ketika sambil bercandan kami bertanya, “jadi naon ieu teh hubungan na antara puisi jeung kopi”. Iqbal hanya menjawab sambil tertawa, “naon nya..”. Sampai akhirnya tiba ke pertanyaan sejak kapan dan kenapa ngurusin kopi ?

“Waktu itu saya dirumahkan sama pabrik tempat saya bekerja selama sebulan”, begitu Iqbal mulai mengisahkan awal mula ia mengolah dan menjual kopi sangray. Pada saat itu ia menyempatkan untuk pergi pulang ke Cikajang untuk waktu yang cukup lama. Saat masih bekerja, Iqbal hanya bisa menyempatkan diri pulang ke Cikajang jika ada kesempatan libur. Kepulangannya untuk waktu lama tersebut bertepatan dengan saat masuk bulan panen kopi. Iqbal tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Selama sebulan dimanfaatkannya untuk belajar mengolah kopi, mulai dari panen sampe olah dan siap minum. Mulailah ia menggeluti kopi. Belajar ke berbagai kenalan, ia juga belajar dari ema. Ia meminta input dari berbagai orang mengenai cita rasa kopinya, serta membuka diri untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Hingga akhirnya, kini memasuki tahun ketiga, Iqbal sudah dapat berbangga dengan kopi sangray produknya yang semakin dikenal oleh banyak teman.

Satu setengah jam berbincang-bincang di rumah Iqbal, serta telah juga berkenalan dengan apah dan mamahnya. Namun kami belum juga bertemu dengan Ma Okon. Ternyata ma Okon ada di rumahnya sendiri, tepat di samping kiri rumah Iqbal. Seluruh proses pengolahan kopi dilakukan Iqbal bersama emaknya di rumah itu. Kami mulai beranjak dari rumah Iqbal ketika sekitar pukul 11.30 Iqbal mengajak kami menuju rumah ema karena hidangan makan siang sudah disiapkan. Tentu saja ajakan penuh berkah tersebut kami sambut dengan suka cita. Benar saja, di teras rumah ma Okon, lembaran daun pisang yang memanjang dengan menu lengkap di atasnya sudah menanti. Nasi liwet, ikan asin, sambal, kerupuk, lalap timun, daun pohpohan, leuncak. Ma Okon, dengan bahasa sundanya yang kental, mempersilahkan kami menikmati hidangan yang menurut kami sangat mewah itu.

Merawat Pohon Kopi, Berawal dari Rasa Cinta
Setelah menikmati makan siang yang begitu nikmat, kami mulai dimanja dengan tutur ema mengisahkan perkenalan pertamanya pada tanaman kopi. Dulu sekali, ketika ema masih anak-anak memasuki usia remaja, bapaknya yang seorang petani sudah menanam kopi di pekarangan. Tidak banyak, hanya ada 5 pohon, sebab hanya diperuntukkan sebagai tanaman pagar dan memenuhi konsumsi kopi keluarga. Sejak itu ma Okon mulai suka dengan tanaman kopi. Ia merasa gembira ketika melihat bunga-bunga kopi yang wanginya memenuhi pekarangan mulai bermekaran. Kegembiraannya bertambah setiap melihat biji-biji kopi yang bulat kecil tampak mulai berwarna merah. Ma Okon mulai menanam 2 pohon kopi di kebun dan merawatnya hingga besar. Kemudian bertambah, bertambah, dan semakin banyak tersebar di lahan kebun yang tidak begitu luas.


Kebun ma Okon memang tidak terlalu luas, tidak sampai 1 ha. Tanah kebun milik bapaknya yang mencapai 3 ha sudah lama habis dibagi-bagi sebagai warisan. Awalnya ma Okon hanya memiliki sepetak tanah kebun sekitar 70 tumbak, kini ada tiga petak yang diperoleh ma Okon dengan membeli, menyisihkan hasil kebun sedikit demi sedikit. Lokasi kebun mak Okon juga tidak berada dalam satu tempat, tersebar di tiga titik. Semuanya berada tidak jauh dari rumah. Di tanah kebun tersebut, ma Okon yang kini tak lagi muda, merawat sekitar 500 pohon kopi, semua jenis arabika. “"Ah...Ema mah resep we kana kopi teh. Ti ema leutik, resep ninggali kembang sareng buahna nu beureum." Begitu jawaban ema, ketika kami bertanya, kenapa ema Okon memilih menanam kopi.

Petik Merah
Kami melanjutkan obrolan dengan ema Okon sambil menuju kebun ema di 2 lokasi yang berbeda. Kebun ema yang pertama kami kunjungi cukup dijangkau dengan 5 menit berjalan kaki. Di kebun itu pohon-pohon kopi tumbuh subur dengan jarak tanam yang agak rapat. Mungkin ema terlalu semangat nanam kopi, sementara luas lahannya kurang bisa memenuhi keinginannya. Tidak banyak tersisa biji berwarna merah, hanya ada beberapa. Tetapi di tiap pohon deretan biji kopi hijau masih terlihat kuat menempel pada dahan yang menjutai. Kata ema, biji hijau ini tabungan, beberapa minggu lagi, setelah merah ia akan siap dipetik.


Dari cerita ema kami ketahui, Iqbal cucunyalah yang menyarankan ema untuk memetik hanya biji yang berwarna merah. Sebab kopi yang dihasilkan akan memberikan cita rasa yang berbeda, terasa lebih harum, manis tanpa getir. Secara ekonomis, tentu saja menjual hasil olahan biji kopi merah memberikan keuntungan yang lebih baik daripada menjual kopi dengan kualitas campur (biji merah dan hijau). Iqbal tidak berhenti sekedar menyarankan ema. Ia sendiri mengambil peran sebagai pembeli dan pengolah biji kopi petik merah yang oleh ema telah dikeringkan dalam bentuk gabah. “Awalnya hanya sedikit, cuma berani minta ema menyisihkan biji kopi petik merah 20 kg saja untuk saya olah, itu pun sebenarnya ema agak ragu dengan keseriusan saya”, begitu Iqbal menuturkan perjalanan awalnya mengolah kopi ema. Kopi yang tidak dijual ke Iqbal, oleh ema tetap dijual ke tengkulak. Bagaimana pun kopi-kopi tersebut tetap harus menghasilkan uang. Hasil penjualan kopi itu yang menopang biaya hidup ema terutama untuk kebutuhan yang harus diperoleh dengan uang.

Dalam dua tahun terakhir, kondisinya berubah. Kini ema tidak lagi menjual biji kopinya ke tengkulak. Semua hasil panen disalurkan ke Iqbal untuk diolah sendiri menjadi kopi sangray. Bahkan tidak jarang Iqbal kehabisan stok greenbean, sebab pesanan untuk kopi sangray dari berbagai tempat semakin banyak masuk ke Iqbal.


Kebon ema sebagai sumber pangan
Kami melanjutkan berjalan kaki menuju kebun ema yang lokasinya lebih dekat lagi dari rumah, hanya 2 menit perjalanan. Di kebun ini, pohon-pohon kopinya lebih pendek, karena usianya memang lebih muda. Rata-rata usia 2-3 tahun. Sebagian baru belajar berbuah. Ema dan Iqbal berkeliling mencari biji merah yang tersisa. Berbeda dengan kebun yang pertama, di kebun ini jarak tanam antara pohon kopi lebih jarang. Sebab, selain kopi ema juga menanam berbagai jenis sayuran dan tanaman karbohidrat pengganti beras. Di lahan kecil itu kami menemukan cabai, sayur, waluh, pisang, singkong dan jenis tanaman bumbu masak atau jejamuan. Sesekali, tak sengaja kami menginjak tanah lembek sekitar tanaman. Ternyata yang kami injak itu pupuk kandang dari kotoran sapi. Menurut penuturan ma Okon, ia tak pernah membeli pupuk putih (istilah yang biasa digunakan untuk menyebut pupuk kimia buatan). Awalnya karena ema tidak punya banyak uang untuk membeli pupuk. Meski pun ada penjual pupuk yang datang ke petani dan memberi utangan, tetap saja ema gak mau. Akhirnya ema menggunakan pupuk kandang. Tapi kini, setelah ema melihat pertumbuhan tanamannya yang sangat baik dengan pupuk kandang, ema memutuskan tetap menggunakan pupuk kandang, toh bahan bakunya berlimpah. Benar saja, ketika kami hendak kembali menuju rumah ema, tak jauh dari kebun ada dua ekor sapi perah yang sangat besar, yang selalu menghasilkan kotoran/feses. Salah satu sapi tersebut sedang bunting. Berarti tak lama lagi sapi-sapi ema akan bertambah. Ma Okon menyerahkan pemeliharaan sapi-sapi tersebut pada adiknya. Termasuk memerah susu dan menjual susu tersebut ke koperasi.

Masih ada yang pada saat itu belum sempat kami susuri, yaitu balong ikan. Ema juga memelihara beberapa jenis ikan air tawar di balong miliknya. Sesekali, jika keluarganya ingin makan ikan mereka menjaring dari balong tersebut.

Saya jadi ingat hidangan makan siang di rumah ema. Ternyata sebagian dari bahan pangan yang tersaji berasal dari kebon ema. Sewaktu berjalan menuju rumah, saya setengah becanda bertanya pada ma Okon, “Ma, upami aya nu ngagaleuh taneuh ema, kumaha ?” Ma Okon menghentikan langkahnya, sambil menoleh ke saya, ema menjawab: “moal dijual ku ema mah, dahar tina naon atuh, apaan ema teh padaharan na ti kebon”. Petani yang menerapkan pola bercocok tanam sistem tumpang sari seperti ema, tentu memiliki ikatan yang sangat kuat dengan tanah garapannya. Sebab tanah garapan itulah ruang hidup si petani, sumber penghidupan baginya dan keluarga. Mereka memakan apa yang mereka tanam, mereka menanam apa yang mereka makan.

Menyangray Kopi, Kopi Sangray
Lega rasanya, akhirnya setelah ulin ka kebon ema, kami pun bisa menikmati seduhan kopi sangray hasil olahan Iqbal. Masing-masing dari kami mencari posisi yang paling nyaman di rumah ema untuk menikmati kopi. Saya, Alex dan Ozi memilih duduk di teras rumah. Tak lama kemudian kami kembali disuguhi sepiring singkong goreng. Singkong dari kebun ema.

Di halaman samping, antara rumah ema dengan rumah Iqbal, terlihat mamahnya sedang menumbuk kopi gabah menggunakan lumpang kayu. Hentakan alunya yang keras menggetarkan tanah di sekitar lumpang. Suaranya terdengar ritmis. Sesekali hentakan alunya berhenti, mamah Iqbal membalik biji-biji tersebut, agar gabah yang di bagian bawah terkena hentakan alu dan kulitnya segera lepas.


Sementara di dapur, ada Iqbal yang duduk di depan tungku sedang nyangray kopi, ditemani teman kami Yufik yang merekam proses menyangray. Tak jauh dari Iqbal, tepatnya di pintu antara dapur dengan ruang tengah, ema duduk. Perempuan tua itu mengamati cucunya menyangray kopi, sesekali terdengar dialog antara mereka. Dialog antara nenek dan cucunya. Dialog tentang kopi, dari hulu ke hilir. Dialog tentang menyangray. Sambil mengaduk terus biji-biji kopi di atas wajan, sesekali tangan kiri Iqbal mengatur bara api. Jika bara mulai meredup, pemuda itu segera membungkuk, meniupkan udara melalui selongsong paralon kecil. Aroma kopi sangray memenuhi ruangan, bahkan sampai ke halaman depan. Hampir satu jam Iqbal menyangray, ia mulai siap-siap mengangkat wajan dan menuangkan biji kopi yang berwarna coklat itu ke atas nyiru. Tangannya sigap menggapai adukan kayu, lalu meratakan biji-biji kopi agar tidak menumpuk di tengah, sehingga panasnya segera menguap.



Menyangray kopi adalah tradisi yang biasa dilakukan ema untuk konsumsi kopi keluarga. Sebelum melihat Iqbal menyangray, kami sempat menyaksikan proses bagaimana ema melakukan ritual itu. Kami tak ingin mengusik ema, tidak ada obrolan. Hanya suara ritmis dari gesekan antara adukan kayu, wajan dan biji-biji kopi memenuhi ruang dapur. Sesekali kami menangkap mimik wajah ema yang terlihat tekun, kadang bibirnya bergerak pelan, seperti berbisik, tampaknya ema sedang merapal doa. Pada keluarga petani kopi, tradisi menyangray kopi untuk keluarga biasanya memang dilakukan ibu atau nenek. Proses menyangray biasanya mereka lakukan sambil shalawatan. Entah karena mendoakan dan mensyukuri si biji-biji kopi, atau sedang mengisi waktu menyangray yang cukup lama untuk shalawatan sebagai ibadah tambahan. Tapi ritual itu membuat suasana menyangray lebih hikmat. Meski pun hasil akhir sangrayan Iqbal berbeda dengan hasil ema yang cenderung hitam, tapi ema mengatakan ia senang karena ada cucunya yang meneruskan tradisi menyangray kopi. Bahkan tradisi itu tidak hanya untuk kebutuhan kopi di rumah, juga menjadi proses pengolahan kopi yang hasilnya dinikmati oleh orang-orang di luar mereka yang membeli kopi sangray olahan Iqbal. Kopi-kopi itu, bahkan sudah sampai ke tempat-tempat yang jauh dari Cikajang. Iqbal kerap mengirimkan kopi sangray kemasan yang pesanannya datang dari teman-teman atau temannya teman di daerah lain, beberapa bahkan membawanya sebagai oleh-oleh ke luar negeri.

Teman saya, Yufik sempat bertanya, “Iqbal, mau sampai kapan nyangray ? Gak tertarik mengganti dengan alat roasting kopi yang lebih canggih dan modern ?”. Iqbal diam sejenak, sambil senyum ia menjawab “gimana ya kang, tadinya kepikiran juga pake alat roasting yang lebih canggih, tapi kumaha, saya sudah pakai nama kopi sangray di kemasan, dan orang sudah pada tahu. Jadi, biar saja saya tetap menyangray secara tradisional, seperti kebiasaan ema”. Diam-diam, saya menyimpan kagum pada keteguhan Iqbal. Pada keteguhannya menjaga tradisi, dengan tetap juga menjaga cita rasa kopi. Sebab tidak ada yang salah dengan menyangray kopi cara manual, selama teknik yang dilakukan mampu menghasilkan karakter si kopi tersebut. Seperti yang dilakukan Iqbal.




Terima kasih, ema dan Iqbal

Hari mulai petang. Kami harus melanjutkan perjalanan menuju Yogya, sebelum mengunjungi Pak Wakhid di Suroloyo, Kulonprogo. Kami menutup perjumpaan silaturahmi dengan foto bersama. Kemudian mendekap dan bersalaman dengan ema, sambil saling menyisipkan doa, agar semua selalu dalam kondisi sehat, kelak bertemu kembali. Kami tak dapat menyembunyikan kegembiraan, melihat 3 kardus perbekalan telah disiapkan ema untuk kami di perjalanan. Kecimpring, waluh, pisang, singkong, terong belanda. Saya juga mengemas 3 bungkus kopi sangray yang sudah saya pesan sebelumnya pada Iqbal. Kelak, kopi sangray tersebut beserta kecimpring dari ema akan menjadi tali penghubung antara keluarga ema, keluarga Pak Wakhid, dan keluarga Pak Sukir. Menjadi penghubung rasa diantara sesama petani kopi. Hatur nuhun, Ema Okon Winara, terima kasih Iqbal Noer Listanto.

Bersambung..,




ajeng kesuma di 09.38

(diposting ulang dan ditambah beberapa foto, dari situs https://jengningrum.blogspot.com/2017/09/ema-yang-menyemai-benih-cucu-yang.html?m=1 )

PERSEMBAHAN

PERSEMBAHAN DARI KOPI SANGRAY

PERSEMBAHAN Tak ada yang benar-benar mesti diceritakan segalanya tumbuh tak tergesa melaju dengan kecepatan waktu seperti biji-biji kopi di ...

Kopi Sangray

Kopi Sangray

menjadi petani kopi

menjadi petani kopi