Minggu, 20 Desember 2020

KOPI, SEBUAH PERJALANAN RASA YANG TAK PERNAH USAI

 YANG MENGAKAR DALAM DIAM, TUMBUH TANPA TERGESA

 

Entah sejak kapan eksistensi kopi mulai naik kembali, khusunya di Jawa Barat, sebab pernah terjadi buah-buah kopi sulit untuk dijual. Salah satu mungkin yang bisa dicurigai adalah tayangnya film filosofi kopi yang cukup ramai ditonton dan dibicarakan anak-anak muda masa kini. Kopi yang tadinya hanya sebagai pelengkap ngobrol dan ngumpul, sekarang nyaris menjadi tema di sebagian banyak acara kumpul-kumpul, hingga terlahir isitilah kopi snob, kopi serius, kopi setan, dan lain sebagainya.

 

Eksisitensi kopi yang makin ke sini makin masuk ke wilayah gengsi dan gaya hidup membawa angin segar bagi para pegiat kopi, baik dari hulu selaku produsen yaitu para petani, atau pun di  hilir yaitu para penikmat dan penyaji. Makin banyaknya café-café, meningkatnya jumlah kedai-kedai memberi banyak ruang pecinta kopi untuk menikmati kopi dari berbagai wilayah, dan menjadi pasar yang cukup menjanjikan untuk kopi-kopi lokal yang tak kalah pamor dari segi kualitas rasa dari kopi luaran.


Banyaknya permintaan menumbuhkan banyaknya pengusaha-pengusaha kopi dari mulai yang kecil-kecilan mengolah hasil tanamnya, sampai membuka pabrik sendiri di sekitar area perkebunan kopi milik gabungan kelompok tani. Selain dari itu, muncul juga eksistensi dari jenis varietas kopi, semisal typical, ateng, cigararuntang, lini ss, dan lainlain, juga dari proses pasca panen yang makin ke sini banyak pegiat kopi yang melakukan eksperimen-eksperimen demi mencari rasa yang unik dan menakjubkan.

 

Pada mulanya adalah menjual kopi, namun ketika makin banyaknya orang yang menjual kopi akhirnya yang dijual adalah rasa kopi, itulah yang kini sedang menjadi trend di kalangan pegiat kopi, setiap orang mencari—menamai kopi-kopi hasil olahannya, semisal kopi gulali, kopi nangka, dan yang kini sedang eksis adalah kopi wine, yang di mana pengolahannya lumayan rumit dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Persaingan-persaingan itu memberi dampak positif bagi perkembangan dunia perkopian, sebab bagaimana pun para penikmat kopi adalah para pemburu rasa dari secangkir pekat sejuta inspirasi itu, sehingga umumnya mereka akan senantiasa berburu rasa-rasa yang unik, baru, dan penuh kejutan.

 

Namun sayangnya, sebagian banyak pegiat  lebih fokus di hilir, sehingga wilayah hulu sebagai produsen seringkali terabaikan, hal ini tentu akan berakibat pada kualitas kopi yang di hilir, ketika permintaan melonjak, orang-orang berlomba-lomba menanam kopi, sisi baiknya pasokan kopi beberapa tahun ke depan aman kalau eksistensi kopi masih bisa terjaga, dan sisi lainnya adalah benih yang ditanam cenderung acak, artinya akan berpengaruh pula pada rasa kopi dan umur produktivitas pohon kopi. Bahkan di tempat-tempat penyemaian benih pun, banyak benih yang dipertanyakan kualitasnya.

Hal-hal yang cukup jarang dilakukan akhir-akhir ini adalah menyemai benih yang baik.

 

PENYEMAIAN

Ketika makin banyak orang menanam, makin banyak pula mereka yang menjual bibit-bibit pohon kopi, beberapa kali saya menemukan orang-orang mengambil “kongkowak” (benih pohon kopi yang tumbuh sendiri sebab buah kopi jatuh ke tanah) untuk ditanam di kebun-kebunnya, dan tak sedikit pula yang dijual. Sebenarnya kongkowak juga adalah benih kopi hanya saja sulit untuk mengetahui apakah dari biji kopi matang atau tidak, dan apakah dari pohon yang sudah cukup umur untuk dijadikan benih atau tidak, itu yang menjadi persoalan, sebab benih yang acak cukup berpengaruh pada usia produktivitas pohon kopi, dalam praktiknya benih-benih muda itu umumnya bertahan sampai dua musim, dan untuk musim berikutnya akan nampak penurunan produktivitas baik dari kualitas maupun kuantitas biji kopi yang dihasilkan, dan tentunya ini akan menuntut petani kopi untuk pemeliharaan yang ekstra, yang biasanya adalah pemangkasan atau tak jarang pula mengganti dengan benih baru, dan itu seolah kembali ke awal. Beda halnya ketika pohon kopi dihasilkan dai benih yang matang dan dari pohon yang usianya sudah cukup untuk dijadikan benih, selain produktivitasnya yang cukup stabil, juga imunitas pohon yang sudah kuat, sehingga cukup aman dari gangguan hama-hama yang biasa menyerang pohon kopi.

Banyak metode-metode penyemaian yang digunakan, dan sah-sah saja, yang paling penting adalah sumber benih. Usia penyemaian memang relative, umumnya dari “ngabungbun” sampai “nyengka daun” bisa mencapai 2-3 bulan, dan baiknya jangan dulu dipindahkan sebelum ketinggian 30cm-60cm, sebab akarnya masih rawan.

Akhir-akhir ini banyak pula mereka yang bergiat di wilayah kopi yang fokus menjual biji pilihan untuk benih, dan cukup lumayan juga tanggapan dari para pegiat kopi lainnya, mungkin sebab memang jarang di kalangan pegiat kopi yang menyengaja menjual biji kopi pilihan untuk dijual sebagai benih. Sebab lebih banyak dari mereka yang mungkin membeli langsung benih kopi yang berupa pohon dan cukup tinggi walaupun kadang tak pernah tau dari mana sumbernya.

Di masa pandemi yang belum tau sampai kapan terjadi, mungkin ada baiknya mencoba menyemai benih-benih pohon ya semisal kopi, minimal untuk ditanam di halaman rumah yang mungkin nantinya bisa menjadi konsumsi pribadi, mengingat kita di hadapkan pada bayang-bayang resesi dan kelangkaan pangan, tak ada salahnya mencoba memanfaaatkan ruang dan waktu yang tersedia selama #dirumahsaja , dan sebagai upaya menjalin konektivitas dengan alam yang lebih sering kita berjarak dengannya. Selamat menanam , tetap sehat dan bahagia penuh kegembiraan. Jangan lupa ngopi dan bahagia..

Kopi Sangray, 2020

#kopisangray #menuliskanperjalanan #bicarakopi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERSEMBAHAN

PERSEMBAHAN DARI KOPI SANGRAY

PERSEMBAHAN Tak ada yang benar-benar mesti diceritakan segalanya tumbuh tak tergesa melaju dengan kecepatan waktu seperti biji-biji kopi di ...

Kopi Sangray

Kopi Sangray

menjadi petani kopi

menjadi petani kopi