YANG MENGAKAR DALAM DIAM, TUMBUH TANPA TERGESA
Entah sejak
kapan eksistensi kopi mulai naik kembali, khusunya di Jawa Barat, sebab pernah
terjadi buah-buah kopi sulit untuk dijual. Salah satu mungkin yang bisa
dicurigai adalah tayangnya film filosofi kopi yang cukup ramai ditonton dan
dibicarakan anak-anak muda masa kini. Kopi yang tadinya hanya sebagai pelengkap
ngobrol dan ngumpul, sekarang nyaris menjadi tema di sebagian banyak acara
kumpul-kumpul, hingga terlahir isitilah kopi snob, kopi serius, kopi setan, dan
lain sebagainya.
Eksisitensi
kopi yang makin ke sini makin masuk ke wilayah gengsi dan gaya hidup membawa angin
segar bagi para pegiat kopi, baik dari hulu selaku produsen yaitu para petani,
atau pun di hilir yaitu para penikmat dan
penyaji. Makin banyaknya café-café, meningkatnya jumlah kedai-kedai memberi
banyak ruang pecinta kopi untuk menikmati kopi dari berbagai wilayah, dan
menjadi pasar yang cukup menjanjikan untuk kopi-kopi lokal yang tak kalah pamor
dari segi kualitas rasa dari kopi luaran.
Banyaknya
permintaan menumbuhkan banyaknya pengusaha-pengusaha kopi dari mulai yang
kecil-kecilan mengolah hasil tanamnya, sampai membuka pabrik sendiri di sekitar
area perkebunan kopi milik gabungan kelompok tani. Selain dari itu, muncul juga
eksistensi dari jenis varietas kopi, semisal typical, ateng, cigararuntang,
lini ss, dan lainlain, juga dari proses pasca panen yang makin ke sini banyak
pegiat kopi yang melakukan eksperimen-eksperimen demi mencari rasa yang unik
dan menakjubkan.
Pada mulanya
adalah menjual kopi, namun ketika makin banyaknya orang yang menjual kopi
akhirnya yang dijual adalah rasa kopi, itulah yang kini sedang menjadi trend di
kalangan pegiat kopi, setiap orang mencari—menamai kopi-kopi hasil olahannya,
semisal kopi gulali, kopi nangka, dan yang kini sedang eksis adalah kopi wine,
yang di mana pengolahannya lumayan rumit dan membutuhkan waktu yang tidak
sebentar. Persaingan-persaingan itu memberi dampak positif bagi perkembangan
dunia perkopian, sebab bagaimana pun para penikmat kopi adalah para pemburu
rasa dari secangkir pekat sejuta inspirasi itu, sehingga umumnya mereka akan
senantiasa berburu rasa-rasa yang unik, baru, dan penuh kejutan.
Namun
sayangnya, sebagian banyak pegiat lebih
fokus di hilir, sehingga wilayah hulu sebagai produsen seringkali terabaikan,
hal ini tentu akan berakibat pada kualitas kopi yang di hilir, ketika
permintaan melonjak, orang-orang berlomba-lomba menanam kopi, sisi baiknya
pasokan kopi beberapa tahun ke depan aman kalau eksistensi kopi masih bisa
terjaga, dan sisi lainnya adalah benih yang ditanam cenderung acak, artinya akan
berpengaruh pula pada rasa kopi dan umur produktivitas pohon kopi. Bahkan di
tempat-tempat penyemaian benih pun, banyak benih yang dipertanyakan
kualitasnya.
Hal-hal yang
cukup jarang dilakukan akhir-akhir ini adalah menyemai benih yang baik.
PENYEMAIAN
Ketika makin
banyak orang menanam, makin banyak pula mereka yang menjual bibit-bibit pohon
kopi, beberapa kali saya menemukan orang-orang mengambil “kongkowak” (benih
pohon kopi yang tumbuh sendiri sebab buah kopi jatuh ke tanah) untuk ditanam di
kebun-kebunnya, dan tak sedikit pula yang dijual. Sebenarnya kongkowak juga
adalah benih kopi hanya saja sulit untuk mengetahui apakah dari biji kopi
matang atau tidak, dan apakah dari pohon yang sudah cukup umur untuk dijadikan
benih atau tidak, itu yang menjadi persoalan, sebab benih yang acak cukup
berpengaruh pada usia produktivitas pohon kopi, dalam praktiknya benih-benih
muda itu umumnya bertahan sampai dua musim, dan untuk musim berikutnya akan
nampak penurunan produktivitas baik dari kualitas maupun kuantitas biji kopi
yang dihasilkan, dan tentunya ini akan menuntut petani kopi untuk pemeliharaan
yang ekstra, yang biasanya adalah pemangkasan atau tak jarang pula mengganti
dengan benih baru, dan itu seolah kembali ke awal. Beda halnya ketika pohon
kopi dihasilkan dai benih yang matang dan dari pohon yang usianya sudah cukup
untuk dijadikan benih, selain produktivitasnya yang cukup stabil, juga imunitas
pohon yang sudah kuat, sehingga cukup aman dari gangguan hama-hama yang biasa
menyerang pohon kopi.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9Ui8qXEnWdBgDXt6apvUlTaSmb-oiF1ndcQBypacMG_5rHJQGXgsTPNsLNe0Bu9Ipp0WiY7s2Hc8odIgSk4Zt26TPsYqZ9ulqfSCHNgTFHb-IIAa0RHQr63SXXXZPGDj_xKbqbcg3thK_/w253-h338/20200918_140735.jpg)
Banyak
metode-metode penyemaian yang digunakan, dan sah-sah saja, yang paling penting
adalah sumber benih. Usia penyemaian memang relative, umumnya dari “ngabungbun”
sampai “nyengka daun” bisa mencapai 2-3 bulan, dan baiknya jangan dulu
dipindahkan sebelum ketinggian 30cm-60cm, sebab akarnya masih rawan.
Akhir-akhir
ini banyak pula mereka yang bergiat di wilayah kopi yang fokus menjual biji
pilihan untuk benih, dan cukup lumayan juga tanggapan dari para pegiat kopi
lainnya, mungkin sebab memang jarang di kalangan pegiat kopi yang menyengaja
menjual biji kopi pilihan untuk dijual sebagai benih. Sebab lebih banyak dari
mereka yang mungkin membeli langsung benih kopi yang berupa pohon dan cukup
tinggi walaupun kadang tak pernah tau dari mana sumbernya.
Di masa
pandemi yang belum tau sampai kapan terjadi, mungkin ada baiknya mencoba
menyemai benih-benih pohon ya semisal kopi, minimal untuk ditanam di halaman
rumah yang mungkin nantinya bisa menjadi konsumsi pribadi, mengingat kita di
hadapkan pada bayang-bayang resesi dan kelangkaan pangan, tak ada salahnya
mencoba memanfaaatkan ruang dan waktu yang tersedia selama #dirumahsaja , dan
sebagai upaya menjalin konektivitas dengan alam yang lebih sering kita berjarak
dengannya. Selamat menanam , tetap sehat dan bahagia penuh kegembiraan. Jangan
lupa ngopi dan bahagia..
Kopi Sangray, 2020
#kopisangray #menuliskanperjalanan #bicarakopi