Rabu, 26 Agustus 2020

JELAJAH KOPISANGRAY KOPIGARUT #3

 KUNJUNGAN JURNALIS (Australian Finance Review) ke Dapur Incu Kopisangray


ya, segalanya terjadi begitu mendadak, cepat dan cukup mengejutkan. 

Mba Natalia Santi menghubungi saya via inboks Facebook hari Selasa dan mengatakan ingin berkunjung sekaligus mencari-cari informasi soal perkembangan kopi di Indonesia. Saya sempat menjawab bahwa untuk hari Kamis, saya sudah ada agenda, dan Mba Natalia sempat bilang mungkin lain kesempatan.


Tiba-tiba hari Rabu, mba Natalia menelpon menanyakan kesanggupan saya akan kunjungan mba Natalia dengan atasannya yang tak lain adalah Mrs. Emma, Jurnalis dr Australian Finance Review. Saya tak bisa menolak kesempatan yang sungguh sempat membuat saya degdegan ini. 

Saya mengiyakan, lalu menanyakan schedule dan apa saja yang dibutuhkan.


Mba Natalia dan Mrs. Emma berencana mencari info dan data soal perkembangan perkopian di Indonesia, khususnya daerah Garut, untuk merespon dr perjanjian yang baru ditandatangani pihak Indonesia dan Australia, soal ekspor-impor. Dan salah satunya adalah Kopi.


Hari Kamis sore kami bertemu di Kedai Kopi Koboi yang kebetulan dekat dengan Hotel di mana Mrs. Emma menginap, kami ngobrol-ngobrol soal teknis perjalanan juga data apa saja yang dibutuhkan. Dalam dialog tersebut saya menawarkan dua konteks, soal Kopi Kultural dan Kopi Industri.

akhirnya kami sepakat itu menjadi salah satu tema dalam perjalanan kami.


Kamis Malam, saya mengontak kawan saya, Kang Yufik, untuk menemani perjalanan sekaligus menyewa mobil Trooper beliau yang sempat pula diajak ke pelosok Garut.


Berangkat


Bandung pagi hari, berbekal rasa penasaran pun takjub akan kehangatan matahari pagi, Saya, Kang Yufik, Mrs. Emma yang membawa anaknya yang tengah liburan di Jakarta, juga Mba Natalua, kami berangkat dengan sarapan kopimorning dalam mobil, sempat terjebak kemacetan walau pada akhirnya tiba sesuai jadwal. 

sepanjang perjalanan, sambung menyambung tanya jawab mengalir spontan saja, walau memang dengan rajin Mba Natalia menyalin jawaban pada laptop yang sejak berangkat sudah stand by.


Tiba




kami tiba di Cikajang, Garut pukul 10:00 WIB setelah menempuh tiga jam perjalanan dan langsung disuguhi penganan khas pedesaan, kukus ubi alias seupan hui, goreng singkong alias sampeu goreng, sepoci teh hangat, dan tak lupa pula, bercangkir-cangkir kopi,




ya, kami ngopingopi sambil berdiskusi ringan soal kopi dan kehidupan sehari-hari, sebelum bergegas menuju kebon kopi terdekat untuk memastikan keadaannya dan menjumpai bungabunga kopi yang mulai bermekaran serta biji-biji kopi yang sebagian masih tersisa yang ranum merah matang. 


tiba di kebun, Mrs. Emma langsung mengajukan beberapa pertanyaan yang diterjemahkan langsung oleh Mba Natalia Santi, beberapa pertanyaan mengenai luas kebon, kuantitas hasil panen permusim, sampai dijual ke mana / ke siapa panenan kopi di kampung.


selain itu, Mrs. Emma juga menanyakan perbedaan cara berkebun kopi, sebab ketika mengunjungi kebon kopi milik Ma Okon, terkesan seperti miniatur hutan, ya, memang dalam cara berkebun kopi, Ma Okon menerapkan multikultur, jadi tak hanya kopi yang ditanam, ada alpukat, pisang, terong, nangka, dan lain sebagainya, selain berfungsi sebagai peneduh juga hasilnya bisa dipetik untuk kebutuhan sehari-hari.


Mrs. Emma membandingkan dengan perkebunan-perkebunan kopi di luar negri, pun di beberapa tempat di Indonesia yang hanya menanam kopi, sehingga benar-benar hanya kopi dalam satu kebun itu.


Kopi Kultural & Kopi Industri



dalam pemahaman awam saya, saya beranggapan bahwa kopi kultural adalah kopi yang diproduksi oleh petani kopi itu sendiri, yang awalnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun sebab ada kelebihan dari hasil panen, akhirnya dijual dalam bentuk sudah disangray/roastbean atau bubuk, yang makin ke sini dipadupadankan dengan kemasan menarik dan elegan. Namun tentu saja kapasitas produksinya terbatas, sebab melihat kuota panen juga proses pengolahannya yang hanya melibatkan keluarga petani saja. 



untuk mencari data soal Kopi Kultural, Mrs. Emma menggunakan sampel Kopisangray, sempat pula Mrs.Emma melihatlihat ruang produksi Kopi Sangray yang bernama Dapur Incu, percakapan-percakapan sambung menyambung dari tentang bagaimana awal mula Kopi Sangray lahir sampai ke mana saja distribusinya juga berapa persentase omset pertahun yang dihasilkan oleh Kopi Sangray, wawancara ringan dan enjoy sambil menyicip bercangkir-cangkir Kopi Sangray hitam pekat.


Sebelum pulang, Mrs. Emma memesan beberapa bungkus Kopi Sangray untuk dibawa pulang sebagai oleholeh, mengingat Herriot, anak gadisnya begitu menyukai kopi tubruk dari kopi sangray itu. Bahkan Herriot meminumnya lebih cepat dari umumnya orang minum kopi, "saya suka, rasanya kuat kopinya pekat", ucapnya dalam bahasa Inggris 


selain Kopi Sangray, saya sertakan pula Kopi kemasan lain hasil dari para petani lainnya juga, salah satunya Kopi dari Buruan Manglayang yang dikomandoi oleh Kang Yufik.

sebelum pamitan, seperti biasa kami foto bersama, dalam kesempatan ini bahkan saya sampai lupa untuk foto-foto saking takjub dan merasa tak percaya dikunjungi Mrs. Emma beserta tim untuk menyengaja datang berkunjung ke ruang produksi Kopi Sangray

PULANG 

sebelum mengantar Mrs. Emma pulang ke Jakarta, kami mampir ke Pabrik Kopi Sunda Hejo yang berada di Kamojang, untuk bertanya-tanya soal Kopi Industri, yang dalam proses produksinya melibatkan beberapa mesin dan kapasitas produksinya yang lebih banyak dan memang ditujukan untuk komersil, baik ekspor atau pasar lokal. 


sejauh informasi yang didapat, Sunda Hejo sedang dalam masa belum produksi besar-besaran, didapat informasi kapasitas produksi bisa mencapai 150ton dan sebagian sudah diekspor.

kami juga menyempatkan untuk menyeruput beberapa seloki kopi yang disajikan barista di kedai sunda hejo.

Tak banyak memang informasi yang didapat, sebab kunjungan sedang dalam masa belum panen raya, ditambah pemilik Sunda Hejo pada waktu itu sedang tidak berada di lokasi.


Kami pulang sekira pukul 15:00 WIB, ketika sore mulai hangat dan situasi perjalanan yang menyenangkan, selama perjalanan saya masih diwawancarai, dan bagi saya, itu saat yang sungguh dramatis, di mana entah mengapa waktu itu saya begitu lancar menyampaikan bagaimana awal mula saya terjun di dunia perkopian, dan ternyata hasil obrolan ringan itu yang akhirnya menjadi penutup dari artikel yang ditulis oleh Mrs. Emma di laman Australian Finance Review. 





" Iqbal used to supply coffee shops in Jakarta, 240km away, with the family crop but now he sticks to Bandung, which is just 93km down the road, where there are more than enough hip cafes keen for his organic crop.


“I felt the coffee calling me,” he says, remembering that morning. It seems it calls him still. "











https://www.afr.com/world/asia/indonesia-s-growing-coffee-habit-a-sign-of-economic-progress-20191124-p53dkm


Terima kasih telah berkunjung dan berbagi kegembiraan.

semoga di lain kesempatan bisa berkunjung kembali dengan penuh kebahagiaan.










November, 2019

#menuliskanperjalanan #kopisangray #kopigarut #jurnalis #kopiindonesia #kopi #dapurincu @dapoer.incu @kopisangray @noer_alfarizi 



Jumat, 21 Agustus 2020

Kopi Sangray dan Seteguk Kisah di Warung Dardja

KOPI SANGRAY dan SETEGUK KISAH

di WARUNG DARDJA 


dari sinilah awal mula perjalanan, Warung Dardja.

Pun Kopisangray terlahir dari hangat dialog-dialog pagi yang lebih dikenal dengan istilah kopimorning di mana Bi Isah sebagai barista ramah dan mendamaikan juga sebagai kepala polisi dapur hehe , setelah kopi tersaji barulah Kang Mukti (sebagian banyak kawan memanggil Emang/Mang Mukti) memulai percakapan tentang cinta dan rasa syukur yang mesti senantiasa tumbuh dalam jiwa dan pikiran.



sesekali kami menikmati sajian musik jiwa, dari alunan lembut gitar nylon yang menarik kami pada bait-bait cinta dan memori masa lalu yang begitu mesra dan penuh gelora. Tak jarang pula lagu-lagu nostalgia mengalun, melingkungi meja panjang tanpa sudut, duduk melingkar gagasan berputar, tawa dan kelakar berganti debar.


hangat matahari, hangat masa depan yang kami siangi, kami sirami, kami bangun dengan cinta dan kegembiraan.


"... di beranda itu, kawankawan.. 

harihari rebah, matahari pagi petang

menuangkan cahayanya..."

( surat kepada d ) 


banyak pula catatan-catatan perjalanan lahir, puisi-puisi mengalir, lagu-lagu tercipta, dan orangorang datang dan pergi membawakan kisah yang menginspirasi.


Warung Dardja, yang kemudian bersalin nama menjadi Eksebisi 59.

awal mula saya mengenalnya dengan nama kantor pergerakan. Ya, di sana saya bertemu Kang Mukti, Kyai Matdon, Kang Sapei Rusin, Ibu Ajeng Kesuma, Kang Edos, Kang Trisno, Kang Wisn, yang menjadi guru sekaligus sahabat, juga bertemu kawankawan lainnya yang sampai sekarang masih senantiasa bertukar ide berbagi cerita.

"... aku hanya ingin mencintaimu

seperti kisah syair kecil, mendekap nyanyian jiwa.. " (aku hanya ingin) 


Ruang Seni


saya mulai aktif dan sering berkunjung ke Warung Dardja dari akhir tahun 2011, sebab pada waktu itu, seringkali kegiatan seni berlangsung di sana, dari mulai Pengajian Sastra Majelis Sastra Bandung, Stand Up Komedi, Konser Musik Balada, Pameran Lukisan, dan banyak lagi kegiatan lainnya.


dan tak jarang pula setiap 17 Agustus, diadakan Upacara bendera dilanjut dengan kopimorning dan menikmati seduhan air sereh dan jeruk nipis dr Bu Ajeng, atau Cilok pangeunahna saBandung dr Kang Matdon dan kudapan lainnya.



 
 ( foto : Bu Ajeng kesuma )

saya merasa memiliki keluarga baru, sekolah baru, ruang hangat dan tumbuh bersama. Saya juga menyaksikan cukup banyak kawankawan muda yang bergiat di sana, baik sebagai aktivis mahasiswa atau pun berkegiatan seni dengan gembira.


Kopi


sekira tahun 2015, masih hangat dalam ingatan, Kang Mukti bilang, "nggeus maneh th kaluar gawe, balik ka lembur, urus lembur, urus naon we nu aya di lembur". Beberapa kali beliau berpesan, ketika Kopimorning, pun ketika ngopi dini hari.

nasihat itu seringkali saya resapi, hayati baikbaik ketika bekerja, waktu itu saya bekerja sebagai buruh pabrik di pabrik karet daerah Arjuna, dekat pasar Ciroyom.

pernah suatu ketika, ketika lembur kerja sampai larut malam, saya memikirkan nasihat tsb sambil duduk di teras mushola, sambil memakai sepatu lalu berjalan menuju tempat kerja, nasihat itu terus saya pelajari dan mencoba untuk mewujudkannya. 


makin ke sini saya makin sering berkunjung ke Warung Dardja, ngobrol soal pembebasan tanah, perjuangan, pergerakan, lalu sampai pada pembicaraan pengolahan kopi.

Ibu Ajeng, yang seringkali membawa kopi hasil olahan petanipetani kopi, dan seringkali kami membicarakan perjuangan itu di sesi Kopimorning. 

Lambat laun Ibu Ajeng menyarankan saya untuk mengolah kopi sendiri, pun Kang Wisnu alias kangtimbul.


 (Foto : Kang Yufik)

ketika pulang ke kampung cukup lama, saya beberapa kali mencoba mengolah kopi sendiri, dan bertanya banyak ke emak (nenek), emak sungguh antusias, dibimbingnya saya dengan perlahan, sambil diceritakan kisahkisah masa lalu, bagaimana pohon kopi ditanam, lalu diolah untuk konsumsi rumah sendiri sama Abah (ayahnya emak) untuk teman ngadu bako, pada waktu itu Abah adalah petani tembakau.


cukup lama saya belajar dan tumbuh bersama, Warung Dardja seolah menjadi kawah candradimuka, dari belajar soal kopi, kemerdekaan berpikir dan berkehidupan bahkan dalam laku spiritual.


Tahun 2016 lahirlah Kopisangray, setelah beberapa kali uji rasa, baik dr greenbean, hasil sangray, beberapa kali pula saya belajar menyangray kopi manual juga dengan panduan teoriteori kopi masa kini. Pada waktu itu, di Warung Dardja juga terbentuk Kopi Congres, cukup sering kegiatan soal kopi berlangsung di sana.


sedikit drama, saya seolah merasakan betul orangorang datang dan pergi, awal mula banyak kawan-kawan berkumpul maen kartu, remi atau sevenskop, nonton bola, sampai duduk sibuk dengan dunia maya.

namun satu yang umumnya terlihat, kebahagiaan dan kegembiraan.


2020


"aku tau aku yang mesti pergi..

tapi... " (system) 



Dan tak terasa, ruang kantor pergerakan, Warung Dardja, Eksebisi 59, kini sampai pada tepi untuk mungkin memulai lagi di lain ruang, segalanya kembali pada kesewajaran, pertemuan--perpisahan, berhenti untuk memulai lagi.

"aku simpan air mata di jemari tangan kiri, biar baur di bukubuku gitarku" 

(aku simpan air mata) 


".. sepi ... godot.. sepi.... "

(catatan wina)


"..kini saatnya untuk pulang

kembali menuju rumah kesendirian

menanti matahari esok pagi

saat di mana aku menanggalkan baju

bercumbu dengan alang-alang

mengeringkan air mata di bawah terik

mendendangkan kemerdekaan... " (dendang kemerdekaan) 


( SELAMAT TINGGAL RUANG KOPI PAGI

*postingan status pesbuk Kang Mukti 20082020

Sebelas tahun sudah berkelakar dengan ruangan itu. Atmosfirnya seperti seorang Pietro Spina dalam novel roti dan anggur karya Ignazio Solone, meski tak seperti yang sebenarnya namun arus sungainya hampir begitu deras. Tak ingin lagi saya mengingatnya sekali pun. Sebab, di ruang yang akan datang buku novelnya berganti sudah, novel tentang nama sebuah pulau. Terimakasih pada semua yang pernah merasakan ruang itu, ruang yang tulus di ini di itu...goodbye epribadihhh)

Waas pisan...

Terima kasih, Terima kasih

Hatur Nuhun 


Warung Dardja, Freedom, 20082020

#menuliskanperjalanan #kopisangray #noerlistantoalfarizi 

PERSEMBAHAN

PERSEMBAHAN DARI KOPI SANGRAY

PERSEMBAHAN Tak ada yang benar-benar mesti diceritakan segalanya tumbuh tak tergesa melaju dengan kecepatan waktu seperti biji-biji kopi di ...

Kopi Sangray

Kopi Sangray

menjadi petani kopi

menjadi petani kopi